Rabi'ah Al Adawiyah (Ratu Sufi Yang Cemerlang)
Tokoh sufi wanita yang sangat terkenal di seluruh dunia karena kesuciannya ini adalah Rabi’ah binti Ismail Al Adawiyah. Ia berasal dari keluarga miskin. Sejak kecil tinggal di kota Bashrah. Dia sangat dihormati oleh orang-orana shaleh yang hidup pada masa itu. Seumur hidupnya ia tidak pernah menikah. Jiwa raganya hanya untuk Yang dicintainya yaitu Allah.
Pada malam Rabi’ah dilahirkan ke dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorana yang sangat miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak setetes pun untuk memoles pusar puterinya itu.
Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Rabiah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya ia dinamakan Rabi’ah.
“Pergilah kepada tetangga kita si Fulan dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat menyalakan lampu,” istrinya berkata kepadanya. Tetapi si suami telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu apa pun dari manusia lain. Maka pergilah ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangganya lalu kembali lagi ke rumahnya.
“Mereka tidak mau membukakan pintu,” si suami melaporkan kepada istrinya sesampainya di rumah.
Istrinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala keatas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi.
Nabi membujuknya, “Janganlah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku.”
Kemudian Nabi meneruskan, “Besok pergilah engkau menghadap ‘Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam Jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam Jum’at dan engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaiamnu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal.”
Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabi’ah mencucurkan air mata. Ia bangkit dan menuliskan surat seperti yang dipesankan oleh Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada Gubernur melalui pengurus rumah tangga istana.
“Berikan dua ribu dinar kepada orang-orang miskin,” Gubernur memberikan perintah setelah membaca surat tersebut.” Sebagai tanda syukur kepada Nabi yang masih mengingatku. Kemudian berikan empat ratus dinar kepada si Syaikh (ayah Rabi’ah) dan katakan kepadanya: Aku harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun tidaklah pantas bagi seorang seperti engkau untuk datang menghadapku. Lebih baik seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan janggutku ini. Walaupun demikian, demi Allah, aku bermohon kepadamu, apa pun yang engkau butuhkan katakanlah padaku.”
Ayah Rabi’ah menerima uang emas tersebut dan membeli sesuatu yang dianggap perlu.
Ketika Rabi’ah menanjak besar, sedang ayah bundanya telah meninggal dunia, bencana kelaparan melanda kota Bashrah. Ia terpisah dari kakak-kakak perempuannya. Suatu hari ketika Rabi’ah keluar rumah, ia terlihat oleh seorang penjahat yang segera menangkapnya kemudian menjualnya dengan harga enam dirham. Orang yang membeli dirinya menyuruh Rabi’ah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.
Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan, seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ ah melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir.
Ia menangis sambil mengantuk-antukkan kepalanya ke tanah: “Ya Allah, aku adalah orang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.”
“Rabi’ah, janganlah Engkau berduka,” sebuah suara berkata kepadanya. "Esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga malaikat-malaikat iri kepadamu.”
Rabi’ah kembali ke rumah majikannya. Di siaga hari ia berpuasa dan mengabdi kepada Allah, sedang di malam hari ia berdo’a kepada Allah sambil terus berdiri sepanjang malam.
Pada suatu malam majikannya terjaga dari tidur, dan lewat jendela terlihat olehnya Rabi’ah sedang bersujud dan berdo’a kepada Allah. “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku hanyalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu, dan mengabdi kepada-Mu. Jika aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu.” Demikianlah kata-kata yana terucap dalam do’a Rabi’ah.
Sepasang mata si majikan terbelalak lebar, bukan hanya karena mendengar do’a Rabi’ah. Tapi karena ia melihat suatu keajaiban. Sebuah lentera/lampu tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah sementara cahaya lentera itu menerangi seluruh ramah. Menyaksikan hal ini si majikan merasa takut. Ia segera beranjak ke kamar tidurnya dan duduk merenung hingga fajar tiba. Ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah, bersikap lembut kepadanya kemudian membebaskannya.
Rabi’ah berkata,” Izinkanlah aku pergi.”
Majikannya memberi izin. Rabi’ah lalu berangkat ke padang pasir. Menempuh perjalanan jauh menuju tempat sepi untuk berkhalwat mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah dengan tekun melaksanakan ibadah. Beberapa lama kemudian ia berniat hendak menunaikan ibadah haji. Maka berangkatlah ia menempuh padang pasir kembali. Barang perbekalannya di buntal di atas punggung keledai. Ia berangkat bersama rombongan. Tetapi begitu sampai di tengah-tengah padang pasir keledai itu mati.
“Biarlah kami yang membawa barang-barangmu,” kata lelaki-lelaki di dalam rombongan itu menawarkan jasa mereka.
“Tidak, teruskanlah perjalanan kalian,” kata Rabi'ah.” Bukan tujuanku untuk menjadi beban kalian.”
Rombongan itu meneruskan perjalanan dan meninggalkan Rabi'ah seorang diri.
“Ya Allah,” Rabi'ah berseru sambil menengadahkan kepala. “Beginikah caranya raja-raja memperlakukan seorana wanita yang tak berdaya di tempat yang masih asing baginya? Engkau telah memanggilku ke rumah-Mu, tetapi di tengah perjalanan Engkau membunuh keledaiku dan meninggalkanku sebatang kara di tengah-tengah padang pasir ini.”
Belum lagi Rabi'ah selesai mengucapkan kata-kata ini, tanpa diduga keledai itu hidup lagi dan bergerak berdiri. Rabi'ah meletakkan barang-barang ke atas punggung binatang itu dan melanjutkan perjalanannya.
Beberapa hari lamanya Rabi’ah meneruskan perjalananya menempuh padang pasir, sebelum ia berhenti ia berseru kepada Allah: “Ya, Allah aku sudah letih. Ke arah manakah yang harus kutuju? Aku ini hanyalah segumpal tanah sedang rumah-Mu terbuat dari batu. Ya, Allah aku bermohon kepada-Mu, tunjukkanlah diri-Mu.”
Allah berfirman kepada hati sanubari Rabi’ah: “Rabi’ah Engkau sedang berada di atas sumber kehidupan delapan belas ribu dunia. Tidakkah engkau ingat betapa Musa telah bermohon untuk melihat-Ku dan gunung-gunung terpecah-pecah menjadi empat puluh keping. Karena itu merasa cukuplah engkau dengan nama-Ku saja!”
DILINDUNGI SAHABATNYA
Pada suatu malam ketika Rabi’ah sedang shalat di suatu tempat sunyi (pertapaan kaum sufi), ia merasa sangat letih sehing jatuh tertidur. Demikian nyenyaknya ia tidur sehingga ketika matanya berdarah tertusuk ilalang dari tikar yang ditidurinya, ia sama sekali tidak menyadarinya.
Seorang maling masuk menyelinap ke dalam pertapaan itu. dan mengambil cadar Rabi’ah. Namun ketika ia hendak menyingkir dari tempat itu ia tak menemukan jalan keluar, semua jalan keluar telah tertutup. Lalu dilepaskannya cadar itu dan ditinggalkannya tempat itu. secara aneh tiba-tiba jalan keluar telah terbuka kembali. Maling itu kesenangan segera diambilnya lagi cadar Rabi’ah. Namun begitu ia hendak keluar, lagi-lagi jalan keluar telah tertutup lagi. Sekali lagi dilepaskannya cadar itu. Tujuh kali perbuatan serupa itu dilakukannya. Kemudian terdengarlah olehnya sebuah suara dari pojok pertapaan itu.
“Hai manusia, tiada gunanya engkau mencoba-coba. Sudah bertahun-tahun Rabi’ah mengabdi kepada Kami. Syaitan sendiri tidak berani datang menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling memiliki keberanian hendak mencuri cadarnya? Pergilah dari sini hai manusia jahanam! Tiada gunanya engkau mencoba-coba lagi. Jika seorang sahabat sedang tertidur maka Sang Sahabat bangun berjaga-jaga.”
Dua orang tokoh agama datang mengunjungi Rabi’ah dan keduanya merasa lapar. '‘Mudah-mudahan Rabi’ah menyuguhkan makanan kepada kita,” kata mereka. “Makanan yang disuguhkan pastilah diperoleh secara halal.”
Ketika mereka duduk, di hadapan mereka terhampar serbet di atasnya ada dua potong roti. Melihat hal ini mereka sangat Gembira. Tetapi pada saat itu juga ada seorang pengemis datang dan Rabi’ah memberikan kedua roti itu kepadanya. Kedua tokoh agama itu sangat kecewa, namun mereka tidak berani berkata apa-apa. Tak berapa lama kemudian masuklah seorang pelayan wanita membawelkan beberapa buah roti yang masih panas.
“Majikanku menyuruhku untuk mengantarkan roti-roti ini kepadamu,” kata si pelayan.
Rabi’ah menghitung roti-roti kesemuanya ada delapan belas buah.
"Mungkin roti-roti ini bukan untukku.” kata Rabi’ah.
Si pelayan berusaha meyakinkan Rabi’ah namun percuma saja. Akhirnya roti-roti itu dibawanya kembali. Pelayan itu menyalahkan dirinya sendiri. Ia menyangka Rabi’ah tidak mengetahui perbuatannya bahwa ia telah mengambil dua potong roti untuk dirinya sendiri sehingga roti yang berjumlah dua puluh itu tinggal delapan belas. Maka ia segera meminta dua potong roti lagi kepada majikannya dan kembali lagi ke tempat Rabi’ah. Roti-roti itu dihitung oleh Rabi’ah. Ternyata jumlahnya genap dua puluh buah. Barulah Rabi’ah mau menerimanya.
“Roti-roti ini memang telah dikirimkan majikanmu untukku.” kata Rabi’ah.
Kemudian Rabi’ah menyuguhkan foti-roti tersebut kepada kedua . tamunya tadi. Keduanya makan namun masih dalam keadaan terheran-heran.
“Apakah Tahasia di balik semua ini?” mereka bertanya kepada Rabi’ah. “Kami ingin memakan rotimu sendiri tapi engkau malah memberikannya kepada seorang pengemis. Kemudian engkau mengatakan kepada pelayan tadi bahwa kedelapan belas roti itu bukanlah diberikan untukmu. Tetapi ketika semuanya berjumlah dua puluh engkau baru menerimanya?”
Rabi’ah menjawab, “Sewaktu kalian datang, aku tahu bahwa kalian sedang lapar. Aku berkata kepada diriku sendiri, betapa aku tega untuk menyuguhkan dua potong roti kepada dua orang pemuka agama yang terhormat? Itulah sebabnya mengapa ketika si pengemis itu datang aku segera memberikan dua potong roti itu kepadanya dan aku berkata kepada Allah Yang Mahabesar,’ Ya Allah, Engkau telah berjanji bahwa Enakau akan memberikan ganjaran sepuluh kali lipat dan janji-Mu itu kupegang teguh. Kini telah kusedekahkan dua potong roti untuk menyenangkan hati-Mu, semoga Enakau berkenan untuk memberikan dua puluh potong roti sebagai imbalannya. Ketika delapan belas roti itu diantarkan kepadaku, tahulah aku bahwa sebagian dari jumlah roti itu telah dicuri atau roti-roti itu bukan untuk disampaikan kepadaku.”
ZUHUD
MENCACI DUNIA
BUKAN UNTUK KESOMBONGAN
MELEPAS DUNIA
Ia adalah wanita yang wara’. Selalu berhati-hati. Tak mau sedikit pun perutnya terisi oleh barang haram. Pada suatu hari pelayan wanita Rabi’ ah hendak memasak sup bawang karena telah beberapa lamanya meieka tidak memasak makanan. Ternyata mereka tidak mempunyai bawang.
Si pelayan berkata kepada Rabi’ah,” Aku hendak meminta bawang kepada tetangga sebelah.”
Tetapi buru-buru Rabi’ah mencegah, “Telah empat puluh tahun aku beijanji kepada Allah tidak akan meminta sesuatu pun kecuali kepadaNya. Lupakanlah bawang itu.”
Hanya beberapa saat setelah Rabi’ah berkata demikian, seekor burung meluncur di angkasa, membawa bawang yang telah terkupas diparuhnya, lalu menjatuhkannya ke dalam belanga.
Menyaksikan peristiwa ini Rabi’ah berkata,” Aku takut jika semua ini adalah semacam tipu muslihat.”
Rabi’ah sama sekali tidak mau menyentuh sup bawang tersebut. Hanya roti sajalah yang dimakannya.
Seorang cendekia terkemuka di kota Bashrah mengunjungi Rabi’ah yang sedang sakit. Sambil duduk di sisi tempat tidur Rabi’ah, cendekia itu mencaci maki dunia.
Tanpa ragu Rabi’ah berkata kepadanya, “Sesunguhnya engkau sangat mencintai dunia ini. Jika engkau tidak mencintai dunia tentu engkau tidak menyebut-nyebutnya berulang kali seperti ini. Seorang pembelilah yang senantiasa mencela barang-barang yang hendak dibelinya. Jika engkau tidak merasa berkepentingan dengan dunia ini tentulah engkau tidak akan memuji.-muji atau memburuk-burukkannya. Engkau menyebut-nyebut dunia ini seperti kata sebuah peribahasa: barangsiapa mencintai sesuatu hal maka ia sering menyebut-nyebutnya.”
Pada suatu hari Rabi’ah berjalan ke atas gunung. Segera saja ia dikerumuni oleh kawanan rusa, kambing hutan, ibeks (sebangsa kambing hutan yang bertanduk panjang) dan keledai-keladai liar. Binatan-binatang ini menatap Rabi'ah dan hendak menahampirinya. Tanpa disangka-sangka Hasan Basbri datang pula ke tempat itu. Begitu melihat Rabi'ah , Hasan segera menghampirinya. Tapi begitu melihat kedatangan Hasan sekawanan binatang itu lari tunggang langgang ketakutan meninggalkan Rabi'ah. Hal ini membuat Hasan jadi kecewa.
“ Mengapa binatang-binatang itu menghampiri diriku, sedang mereka begitu jinak terhadapmu?” Hasan bertanya kepada Rabi'ah. Rabi'ah balik bertanya,” Apakah yang telah engkau makan pada hari ini?'
“Sup bawang!” jawab Hasan.
“Enakau telah memakan lemak binatang-binatang itu. Tidak mengherankan jika mereka lari ketakutan melihatmu.'’
Pada hari yang lain ketika Rabi'ah lewat di depan Hasan. Saat itu Hasan termenung di jendela. Ia sedang menangis dan air matanya menetes jatuh mengenai pakaian Rabi'ah. Mula-mula Rabi'ah mengira hujan deras, tetapi setelah menengadah ke atas dan melihat Hasan. sadarlah ia bahwa yang jatuh menetes itu adalah air mata Hasan.
“Guru,menangis adalah pertanda dari kelesuan batin,” ia berkata kepada Hasan. “Tahanlah air matamu. Jika tidak, di dalam dirimu akan menggelora samudera sehingga engkau tidak dapat mencari dirimu sendiri kecuali pada seorang Raja Yang Mahaperkasa.”
Teguran itu tidak enak di telinga Hasan, namun ia tetap menahan diri. Di belakang hari ia bertemu Rabi'ah di tepi sebuah danau. Hasan menghamparkan sajadah di atas air dan berkata kepada Rabi’ah.
“Rabiah, marilah kita melakukan shalat sunnat dua rakaat diatas
air.”
Rabi’ah menjawab, “Hasan, jika engkau mempertontonkan karomah-karomahmu di tempat ramai ini, maka karomah-karomah itu haruslah yang tak dimiliki oleh orang-orang lain.”
Sesudah berkata demikian Rabi’ah melemparkan sajadahnya keudara. Kemudian ia melompat ke atasnya. Demikianlah jika Hasan Bashri bisa shalat di atas air tanpa menjadi basah, maka Rabi’ah malah bisa shalat di atas udara seakan bisa terbang. Rabi'ah kemudian berkata kepada Hasan :
“Naiklah kemari Hasan agar orang-orang dapat menyaksikan kita.” Hasan yang belum mencapai tingkat seperti itu tidak dapat berkata apa-apa.
Kemudian Rabi'ah mencoba menghiburnya dan berkata, “Hasan, yang engkau lakukan tadi dapat dilakukan oleh seekor ikan dan yang kulakukan tadi dapat dilakukan oleh seekor lalat. Yang terpenting bukanlah keahlian-keahlian seperti itu. Kita harus mengabdikan diri kepada Hal-hal YangTerpenting itu.”
Rabi’ah berpuasa seminggu penuh. Selama berpuasa itu ia tidak makan dan tidur. Setiap malam ia tekun melaksanakan shalat dan berdo’a. Lapar yang dirasakannya sudah tidak tertahankan lagi. Seorang tamu masuk ke dalam rumah Rabi’ah membawa semangkuk makanan. Rabi’ah menerima makanan itu. Kemudian ia pergi mengambil lampu. Ketika ia kembali ternyata seekor kucing telah menumpahkan isi mangkuk itu.
“Aku akan "mengambil kendi air dan aku akan berbuka puasa,” Rabi’ah berkata.
Ketika ia kembali dengan sekendi air ternyata lampu telah padam. Ia hendak meminum air kendi itu di dalam kegelapan, tetapi kendi itu terlepas dari tangannya dan jatuh, pecah berantakan. Rabi’ab meratap dan mengeluh sedemikian menyayat hati seolah-olah sebagian rumahnya telah dimakan api.
Rabi’ah menangis, “Ya Allah, apakah yang telah Engkau perbuat terhadap hamba-Mu yang tak berdaya lagi ini?”
“Berhati-hatilah Rabi’ah,” sebuah suara terdengar di telinganya. “Janganlah engkau sampai mengharapkan bahwa Aku akan menganugerahkan semua kenikmatan dunia kepadamu sehingga pengabdianmu kepada-Ku terhapus dari dalam hatimu. Pengabdian kepada-Ku dan kenikmatan-kenikmatan dunia tidak dapat dipadukan di dalam satu hati.”
Setelah mendengar celaan ini Rabi’ah mengisahkan.”Aku lepaskan hatiku dari dunia dan kubuang segala hasrat dari dalam hatiku sehingga selama tiga puluh tahun terakhir ini, apabila melakukan shalat maka aku menganggapnya sebagai shalatku yang terakhir.”
Beberapa orang mengunjungi Rabi’ah untuk menguji manusia suci ini. Mereka ingin memergoki Rabi’ah mengucapkan kata-kata yang tidak dipikirkannya terlebih dahulu.
“Segala macam kebajikan telah dibagi-bagikan kepada kepala kaum lelaki,” mereka berkata. “Mahkota kenabian telah ditaruh di kepala kaum lelaki. Sabuk kebangsawanan telah diikatkan di pinggang kaum lelaki. Tidak ada seorang perempuan pun yang telah diangkat Allah menjadi Nabi.”
“Semua itu memang benar,” jawab Rabi’ah. “Tetapi kesombongan diri, memuja diri sendiri dan ucapan' Bukankah aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi' ? tidak pernah membersit di dalam dada seorang perempuan. Dan tak ada seorangpun wanita yang banci. Semua itu adalah bagian kaum lelaki.”
Orang-orang yang bermaksud melecehkan itu sekarang balik merasa sangat malu pada dirinya sendiri.
Ketika Rabi’ah menderita sakit yang gawat. Ia ditanya apakah penyebab sakitnya yana dideritanya itu.
“Aku telah menatap surga,” kata Rabi’ah.” Dan Allah telah menghukum diriku.”
Kemudian Hasan Bashri datang mengunjungi Rabi’ah.
Hasan mendapatkan salah seorang dari pemuka-pemuka kota Bashrah berdiri di pintu pertapaan Rabi’ah. Ia hendak memberikan sekantong emas kepada Rabi’ah dan ia menangis. Hasan bertanya kepada mereka. “Mengapa enakau menangis?”
“Aku menangis karena wanita suci zaman ini,” jawabnya. “Karena jika kehadirannya tidak ada lagi, celakalah ummat manusia. Aku telah membawakan uang sekedar untuk biaya perawatannya. Tetapi aku kuatir kalau-kalau Rabi’ah tidak mau menerimanya. Bujuklah Rabi’ah agar ia mau menerima uang ini.”
Maka masuklah Hasan ke dalam pertapaan Rabi’ah dan membujuknya untuk menerima uang itu. Rabi’ah menatap Hasan dan berkata, “Dia telah menafkahi orang-orang yang menghujjah-Nya. Apakah Dia tidak akan menafkahu orana-orang yang mencintai-Nya. Sejak aku mengenal-Nya aku telah berpaling dari manusia ciptaan-Nya. Aku tidak tahu apakah kekayaan orang itu halal atau tidak, maka betapakah aku dapat menerima pemberiannya? Pernah aku menjahit pakaian yang robek dengan diterangi lampu dunia. Beberapa saat hatiku lengah tetapi akhirnya akupun sadar. Pakaian itu kurobek kembali pada bagian-bagian yang telah kujahit itu dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepadanya agar ia tidak membuatku lengah lagi.”
Abdul Walud Amir dan Sofyan Ats Tsauri mengunjungi Rabi’ah ketika sakit. Tetapi karena keduanya merasa segan mereka tidak berani menegurnya atau menyapa Rabi’ah.
“Engkaulah yang berkata,” kata Abdul Wahid kepada Sofyan. Sofyan kemudian berkata kepada Rabi’ah, ” Jika engkau berdo’a. Niscaya penderitaanmu ini akan hilang.”
Rabi’ah menjawab,” Tidak tabukah engkau siapa yang menghendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah?”
“Ya,” Sofyan membenarkan.
“Betapa mungkin engkau mengetahui hal ini, menyuruhku untuk memohonkan hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya? Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita sendiri?”
“Apakah yang engkau inginkan Rabi’ah?” Sofyan bertanya pula. “Sofyan,engkau adalah seorang terpelajar! Tetapi mengapa engkau bertanya pula 'Apakah yang aku inginkan? Demi kebesaran Allah." Rabi’ah berkata tandas, “telah dua belas tahun lamanya aku menginginkan buah korma segar. Engkau tentu tahu bahwa di kota Bashrah buah korma sangat murah harganya, tetapi hingga saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-Nya dan apakah hak seorang hamba untuk menginginkan segala sesuatu. Jika aku menginginkan sesuatu sedang Allah tidak menginginkannya, maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan sesuatu yang diinginkan-Nya semata-mata agar engkau dapat menjadi hamba-Nya yang sejati. Tetapi lain lagi persoalannya jika Tuhan sendiri memberikannya.”
Shofyan terdiam. Kemudian ia berkata kepada Rabi'ah: “Karena aku tak dapat berbicara mengenai dirimu, maka engkaulah yana berbicara mengenai diriku.”
“Engkau adalah manusia yang baik kecuali dalam satu hal: enakau mencintai dunia. Engkau pun suka membacakan hadits-hadits.” Yang terakhir ini dikatakan Rabi’ah dengan maksud bahwa membacakan hadits-hadits tersebut adalah suatu perbuatan mulia.
Shofyan sangat tergugah hatinya dan berseru: “Ya Allah, kasihilah aku.”
Tetapi Rabi’ah mencela,’’Tidak malukah engkau mengharapkan Allah sedangkan engkau sendiri tidak menghasihi-Nya?”
Pada suatu ketika Malik bin Dinar mengunjungi Rabi’ah. Dia menyaksikan Rabi’ah menggunakan gayung pecah untuk minum dan bersuci, sebuah tikar dan sebuah batu bata yang kadang-kadang dipergunakannya sebagai bantal. Menyaksikan semua itu hati Malik bin Dinar menjadi sedih.
“Aku mempunyai teman-teman yang kaya.” kata Malik. “Jika engkau menghendaki sesuatu akan kumintakan kepada mereka.”
“Malik, engkau telah melakukan kesalahan yang besar,” jawab Rabi’ah. “Bukankah yang menafkahi aku dan yang menafkahi mereka adalah satu.”
“Ya,’’jawab Malik.
“Apakah yang menafkafi orang-orang miskin itu lupa kepada orang-orang miskin karena kemiskinan mereka? Dan apakah Dia ingat kepada orang-orang kaya karena kekayaan mereka? “tanya Rabi’ah.
“Tidak!” jawab Malik.
“Jadi/’ Rabi’ah meneruskan. “Karena dia mengetahui keadaanku, bagaimana akii harus mengingat-Nya'? Beginilah yang dikehendaki-Nya, dan aku menghendaki seperti yang dikehendaki-Nya.”
Ketika tiba saatnya Rabi'ah harus meninggalkan dunia ini. Orang-orang yang menungguinya meninggalkan kamarnya dan menutup pintu kamar itu dari luar. Setelah itu mereka mendengar suara yang berkata.” Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dengan berbahaia.”
Beberapa saat kemudian tak ada lagi suara yang terdengar dari kamar Rabi'ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu dan mendapatkan Rabi’ah telah berpulang ke Rahmatullah.
Setelah Rabi’ah meningal dunia, ada yang bertemu dengannya dalam sebuah mimpi. Rabi’ah ditanya.
“Rabi'ah. bagaimana engkau menghadapi malaikat Munkar dan Nankir ?”
Rabi’ah menjawab, “Kedua malaikat itu datang kepadaku dan bertanya: ‘Siapakah Tuhanmu?’
Aku menjawab: Pergilah kepada Tuhanmu dan katakan kepada-Nya: 'Di antara beribu-ribu makhluk yang ada, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya memiliki Engkau di dunia yang luas, tak pernah lupa kepada-Mu, tetapi mengapakah Engkau mengirim utusan sekedar menanyakan 'siapakah Tuhanmu’ kepadaku.”
“Ya Allah, apa pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apa pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti, berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagiku”.
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku .
“Ya Allah, semua jerih payahku dan semua hasratku di antara segala kesenangan-kesenangan dunia ini adalah untuk mengingat Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan akhirat, adalah untuk berjumpa dengan-Mu. Begitulah halnya dengan diriku, seperti yang telah kukatakan. Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki”.
Komentar
Posting Komentar