Langsung ke konten utama

Kisah Tiga Bersaudara Mengharap Do'a Nabi Khidir

Cetak Roll Banner, XBanner, Spanduk, Backdrop, Photo Paper, Kanvas, Bendera

Kisah Tiga Bersaudara Mengharap Do'a Nabi Khidir

Tersebutlah tiga orang dari negeri Syam atau Syria sekarang. Nama mereka sebut saja Ubay, Amar dan Hafid. Mereka bermaksud ke Mekah pada musim haji karena ingin bertemu dengan Nabi khidir AS.
Nabi khidir AS konon bisa ditemui siapa saja, namun bagi orang awam di Mekah hanya dapat dicari waktu musim haji Akbar yang wukufnya jatuh pada hari Jum’at.

“Berarti kita harus mencari di tengah ribuan manusia.”kata Ubay.

“Itulah yang sulit,” keluh Amar.

“Tapi harus kita coba, bukan ?” sahut Hafid.

Keesokan harinya, berangkatlah mereka menuju tanah suci Mekah. Mereka pergi dengan bekal seadanya saja.

Alangkah sulitnya perjalanan pada waktu itu. Telah dua minggu lamanya mereka berjalan kaki. Menempuh padang pasir yang luas dan gersang. Tapi belum juga sampai ke tempat yang dituju. Berbagai macam rintangan telah mereka hadapi. Bukan hanya sekedar kekurangan air dan makanan, tapi juga bahaya yang mengancam jiwanya. Kadangkala mereka harus menghadapi orang-orang jahat. Sungguh mendebarkan. Kalau tidak menguat-nguatkan hati tentu mereka sudah balik pulang ke rumah.

Terkadang timbul juga rasa takut dan putus asa. Tetapi bila ingat Nabi Khidir, bangkitlah semangatnya. Akhirnya, semua rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar dan tabah. Segala penderitaan dalam perjalanan dianggapnya sebagai cobaan. Mereka begitu bertekad untuk bertemu dengan Nabi Khidhir. Sementara itu keadaan ketiga bersaudara semakin lemah. Kakinya bengkak-bengkak karena dibakar oleh panasnya padang pasir yang gersang. Apabila siang hari, mereka dibakar oleh panasnya matahari. Dan bila malam hari, hawa dingin mencekam di sekujur tubuhnya. Semuanya dihadapi dengan tabah. Kalau salah satu ada yang jatuh sakit, maka yang lain menggendongnya sambil berdoa kepada Allah.

Ketika hampir tiba di kota Mekah, mereka menjumpai pemandangan yang menyedihkan. Waktu itu daerah yang dilewatinya sedang dilanda duka. Wabah kolera sedang meraja lela. Tidak sedikit mayat-mayat yang bergelimpangan di tepi jalan. Sungguh mengharukan. Tetapi untunglah ! Mereka tetap sehat-sehat saja. Dan keesokan harinya, sampailah mereka ke tempat tujuan. Kota Mekah AI-Mukarramah. Kota suci umat Islam. Di sanalah Ka’bah, Baitullah yang dibagun pertama kali oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS.

Betapa senangnya Ubay, Amar, dan Hafid setelah sampai di kota Mekah. Tanpa terasa berlinanglah air matanya. Segala penderitaan yang mereka selama dalam perjalanan, terasa hilang musnah seketika. Tidak ada perasaan lain, kecuali kegembiraan. Sekalipun bekal telah habis, namun mereka tidak merasa khawatir. Apapun yang bakal teijadi akan mereka hadapi, asal dapat bertemu dengan Nabi Khidhir. Apalagi mereka datang ke Mekah waktu musim haji. Dengan demikian, mereka dapat meminta bantuan orang-orang dari negeri Syam yang juga datang ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.

Pada waktu itu kota Mekah sangat ramai. Beratus-ratus ribu umat islam berkumpul di sana. Mereka datang berbondong-bondong dari segala penjuru dunia dengan tujuan yang sama, yaitu menunaikan rukun Islam yang kelima, ibadah haji. Di mana-mana terdengar suara takbir dan tahmid, memuji kebesaran Ilahi Rabbi.

Bertepatan dengan hari Jum’at, kesempatan mereka gunakan untuk mengatur rencana. Pintu-pintu mana yang paling banyak dilewati orang, mereka pelajari. Bagaimana caranya mencegat Nabi Khidhir ? Dan tanda-tanda apa yang perlu diucapkan. Semuanya telah mereka pelajari secara seksama. Lalu dicarinya beberapa pemuda Arab untuk diajak mencegat Nabi Khidhir. 

Hari itu adalah hari Jum'at. Masjidil Haram penuh dengan ratusan ribu manusia. Seluruh jamaah haji melakukan shalat di sana. Begitu juga Ubay, Amar, dan Hafid. Mereka mengambil tempat di dekat pintu keluar. Maksudnya agar cepat sampai ke pintu sebelum orang lain keluar.

Begitu acara selesai, berlarilah mereka menuju pintu keluar. Tiap orang berdiri di pintu yang telah ditentukan. Kemudian dihadangnya semua orang yang lewat, untuk dijabat tangannya. Tidak ada seorangpun yang dibiarkan lolos. Semua orang diajaknya untuk bersalaman, sambil diraba pangkal ibu jarinya. Siapa tahu, pangkal ibu jarinya tidak bertulang ? Sebab salah satu tanda-tanda Nabi Khidir adalah pangkal ibu jarinya tidak bertulang.

Tapi yang dicarinya belum juga muncul. Entah sudah berapa ribu orang yang mereka ajak bersalaman. Mereka sendiri tidak tahu. Tapi tidak ada seorangpun yang terasa lunak pangkal ibu jarinya. Sementara itu tangan mereka sendiri sudah terasa pegal. Kaki merekapun mulai semutan, karena terlalu lama berdiri. Tapi Nabi Khidhir belum juga mereka temukan. Padahal jumlah orang yang masih ada di dalam masjid sudah semakin berkurang. Perasaan cemas dan khawatir, mulai menggerogoti hati mereka.

Tetapi untunglah, Allah Maha Pemurah.

Pada waktu itu ketiga bersaudara hampir putus asa, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan.

“Nabi Khidhir !” kata suara itu.

Ternyata yang berteriak adalah Hafid. Kiranya ia telah bertemu dengan Nabi Khidhir. Pangkal ibu jari orang tersebut memang terasa lunak, tidak bertulang.

“Tuan Nabi Khidhir, bukan ?” tanya Hafid sambil memegang tangan orang itu dengan erat sekali.

“Ada apa ini?” tanya orang tua tersebut, “Lepaskan aku !”

“Maaf kami, Tuan! Kami tidak akan melepaskan Tuan sebelum Tuan mengatakan siapa nama Tuan,” jawab Hafid sambil terus terus memegangi tangan orang tua itu.

“Baiklah kalau begitu. Aku memang Nabi Khidhir ! Lalu apa maksudmu?” jawab orang tua itu.

"Alhamdulillah... alangkah bahagianya aku..,” Sahut Hafid sambil memegang tangan orang tua itu lebih erat lagi. Sementara itu. Ubay dan Amar telah datang ke tempat tersebut. “Mari kita menyingkir dari sini!” ajak Hafid sambil menarik orang tua itu ke tempat yang agak sepi.

“Begini Tuan...” kata Hafid.

“Aku sudah tahu maksudmu,” tukas Nabi Khidhir. “Memang aku diutus oleh Allah untuk menemuimu.” !

“Jadi Nabiyullah sudah tahu bahwa kami...” sela Ubay.

“Ya. Aku sudah tahu bahwa kalian telah bersusah payah mencariku ke sini,” jawab Nabi Khidhir sambil tersenyum. “Sekarang apa yang kalian inginkan? tanya Nabi Khidhir.

“Saya ingin menjadi saudagar yang kaya !” kata Ubay dengan penuh semangat.

“Saya ingin menjadi Raja yang berkuasa !” sambung Amar tak mau kalah.

“Kalau saya ingin...” sela Hafid agak ragu-ragu.

“Jangan ragu, Hafid,” tegur Nabi Khidhir, “katakan terus terang, apa yang kau inginkan.

“Ah, saya ingin jadi orang... biasa saja. Tapi doa’kan saja agar menjadi orang alim, orang yang berilmu !” jawab Hafid agak malu-malu.

Tapi Nabi Khidhir malah tersenyum atas permintaan Hafid tadi. “Baiklah !” jawab Nabi Khidhir,”Apa yang kalian inginkan akan kusampaikan pada Allah, aku akan berdo’a kepada-Nya. asal kalian mau berjanji.”

“Janji ?” tanya mereka serentak.

“Ya. Kalau keinginan kalian sudah dikabulkan Allah, kalian tidak boleh lupa daratan. Tidak boleh sombong dan kikir. Ingatlah selalu akan asal-usulmu. Tetaplah berbuat baik !” jawab Nabi Khidhir.

“Kami bersedia...” jawab ketiga bersaudara itu.

“Bagus ! Tapi untuk mencapai cita-cita itu kalian harus berusaha juga. Untuk itu kalian harus berpisah !” tegas Nabi Khidhir. “Berpisah ?” tanya mereka agak heran.

“Ya, Selesai menunaikan ibadah haji, kalian harus berpisah di tengah jalan,” kata Nabi Khidhir.

“Lalu ke mana kami harus pergi ?” tanya Ubav.

“Kau harus pergi ke Masyrik, ke arah timur, Ubay. Sedang kau Amar, harus pergi ke Magribi, ke arah barat,” jawab Nabi Khidhir.

“Lalu saya harus ke mana, wahai Nabiyullah ?” tanya Hafid.

“Kau lebih baik pulang saja ke negerimu ! Belajarlah baik-baik,” jawab Nabi Khidhir kepada Hafid.

Selesai menyampaikan pesan tadi, Nabi Khidhir segera berlalu. Tapi baru saja beijalan beberapa langkah, tiba-tiba beliau sudah lenyap begitu saja.

Musim haji habislah sudah. Para jamaah haji sibuk berkemas-kemas untuk pulang ke negerinya masing-masing. Tapi ketiga bersaudara itu masih saja termenung. Terasa berat untuk meninggalkan tanah Mekah, karena harus berpisah. Tapi akhirnya merekapun sadar. Tiada kebahagiaan, tanpa pengorbanan. Setelah puas berpelukan, lalu mereka berpisah.

Ubay pergi ke Masyrik, ke arah Timur. Amar beijalan ke arah Barat, ke Maghribi. Sedangkan Hafid, pulang kembali ke negerinya. Ke negeri Syam.

Dalam perjalanan ke Masyrik, Ubay bertemu dengan sebuah kafilah. Kafilah itu milik seorang saudagar kaya, yang banyak membawa barang dagangan.

Entah mengapa, saudagar itu merasa kasihan melihat Ubay. Lalu diajaknya Ubay ikut dalam rombongan kafilahnya. Bukan main senangnya hati Ubay. Tanpa bersusah payah, ia memperoleh pekerjaan.

Di tengah jalan, Ubay mencium rencana busuk. Rupanya ada anggota rombongan yang berkomplot dengan gerombolan perampok. Mereka ingin merampok barang dagangan tersebut di suatu tempat yang cukup aman. Maka pergilah Ubay menemui majikannya.

“Lalu apa yang harus kita lakukan ?” tanya majikannya.
“Sebaiknya segera kita adakan persiapan untuk menggagalkan rencana jahat itu,” jawab Ubay tegas.

“Kalau begitu, baiklah urusan ini akan kuserahkan padamu,” kata majikannya.

Berkat ketrampilan Ubay, maka selamatlah harta benda saudagar itu. Seluruh perampok berhasil dibunuh. Begitu juga orang-orang yang membantu perampok itu. Maka bertambah sayanglah saudagar itu kepada Ubay. Dan sejak saat itu pula, Ubay menjadi tangan kanan saudagar kaya itu. Bahkan tidak lama kemudian, ia diambil menantu. Jadilah Ubay orang yang kaya raya. Ketika saudagar itu meninggal dunia. Seluruh kekayaannya menjadi milik Ubay.

Demikianlah nasib Ubay. la telah menjadi saudagar yang paling kaya di negeri Masyrik.

Bagaimana dengan nasib Amar ?

Setelah berbulan-bulan lamanya berjalan, sampailah ia ke sebuah kota.

Anehnya, kota itu tampak sepi. Tiada senyum dan tawa yang terdengar. Semua orang tampak sedih dan wajahnya muram, seakan-akan ada sesuatu yang menakutkan. Dengan demikian, bertanyalah Amar kepada penduduk kota tersebut. Ada apa gerangan di negeri ini?

Ia mendapat keterangan. Ternyata telah berbulan-bulan lamanya, raja di negeri itu memendam duka. Puteri yang paling disayang telah lama jatuh sakit. Telah berpuluh-puluh tabib dipanggil untuk mengobati sang puteri. Tapi tak seorangpun yang berhasil menolongnya. Karena itu, Baginda Raja mengadakan sayembara. Bararig siapa yang dapat menyembuhkan penyakit Sang Puteri, akan diberi hadiah. Tapi kalau laki-laki akan dikawinkan dengan sang Puteri.Bahkan akan diangkat menjadi Putera Mahkota. Kalau perempuan akan diangkat menjadi Puteri Raja.

Telah berpuluh-puluh tabib dan dukun mengikuti sayembara itu. Namun tak seorangpun yang berhasil. Maka pergilah Amar menghadap Baginda Raja, la ingin mencoba ilmu pengobatan yang pernah diajarkan oleh kakeknya.

Pada mulanya Baginda raja agak ragu menerima kedatangan Amar.

Tetapi karena tidak ada jalan lain, akhirnya diterima juga. Siapa tahu, anak muda itu akan berhasil mengobati puterinya. Dan ternyata harapannya berhasil. Atas pertolongan Allah, Amar dapat menyembuhkan penyakit puteri Baginda Raja.

Betapa gembiranya Raja di negeri Maghribi tersebut. Lonceng dipukul berkali-kali sebagai tanda bahwa musibah telah berlalu. Seluruh penduduk negeri ikut bersuka-ria. Kota yang tadinya sunyi senyap, akhirnya ramai kembali. Di mana-mana orang mengadakan pesta sebagai tanda bersyukur. Belum pernah negeri Maghribi seramai itu. Apalagi Baginda Raja menyampaikan kabar gembira. Di istana, akan diadakan pesta besar-besaran. Baginda raja hendak menikahkan puterinya yang tunggal dengan Amar. Dan pada hari itu juga. Baginda raja hendak menobatkan Amar sebagai Putera Mahkota. Berbondong-bondonglah rakyat ke istana. Mereka akan menyaksikan penobatan Amar sebagai putera Mahkota.

Demikianlah nasib Amar. Berkat pertolongan Allah, ia berhasil menjadi Putera Mahkota. Dan ketika mertuanya meninggal, diangkatlah Amar menjadi Raja di negeri Maghribi, Dengan demikian, keinginannya untuk menjadi raja yang berkuasa telah terkabul.

Bagaimana dengan Hafid ?

Hafid memang tidak ingin menjadi orang kaya atau Raja, la ingin menjadi orang biasa saja, orang yang berilmu. Karena itu, kehidupan sehari-harinya biasa-biasa saja. Tiba di negerinya, yaitu negeri Syam, ia meneruskan pelajarannya di madrasah. Di samping itu, ia giat melakukan amal kebajikan demi kepentingan masyarakat. Maka jadilah ia seorang Ulama besar yang disegani, la menjadi panutan masyarakatnya. Apalagi setelah ia berhasil mendirikan sebuah perguruan madrasah yang besar. Beribu-ribu pemuda datang ke madrasah tersebut untuk belajar. Tiap hari tak henti-hentinya, rumah Hafid didatangi orang untuk menimba ilmunya. Pembesar-pembesar negeri pun sama-sama berdatangan untuk minta nasihat. Kadang-kadang ia diundang ke istana Kerajaan untuk diajak bertukar pikiran dengan Baginda Raja. Pendeknya, ia menjadi Ulama besar yang dihormati orang. Sekalipun demikian, kehidupannya selalu sederhana.

Telah berkali-kali ia ditawari jabatan yang tinggi oleh Baginda raja.

Namun tawaran tersebut ditolaknya dengan halus, la tidak menginginkan harta dan kedudukan.

Kini Ubay, Amar, dan Hafid telah terkabul keinginannya. Ubay menjadi orang yang kaya raya. Amar menjadi seorang Raja yang disegani. Sedangkan Hafid menjadi orang alim.

Beberapa tahun kemudian, di negeri Masyrik terjadilah kegemparan. Di sana ada seorang saudagar yang kaya raya. Tapi orang tersebut sangat kikir. Di samping itu, ia sangat kejam dan lalim. Jangankan membayar zakat, menolong pengemis pun ia tidak suka. Dalam kehidupan sehari-harinya tiada lain yang dipikirkan kecuali menumpuk harta. Bila ada orang yang dianggap merintangi usahanya, ia mengirim tukang-tukang pukul untuk merampas hak orang tersebut.

Siapakah saudagar yang kikir itu ? la adalah Tomyy eh keliru, Ubay, yang dulu pernah didoakan oleh Nabi Khidhir.

Pada suatu ketika terjadilah suatu peristiwa yang menakjubkan. Ketika itu, Ubay sedang berada di rumahnya. Tiba-tiba terjadilah keributan di tokonya. Rupanya para pegawainya sedang mengusir seorang pengemis tua. Anehnya, walaupun pengemis tersebut diusir, ia tidak mau pergi. Orang tua itu berkata bahwa dirinya adalah teman lama Ubay

Mendengar suara gaduh itu, maka pergilah Ubay ke tokonya. Belum sempat berbicara, ia terlebih dahulu ditegur oleh pengemis tua itu.

“Saudagar Ubay... Lupakah kau padaku, Waktu kita bertemu di Mekah dulu ?” tegur pengemis itu.

“Jangan mengaku-ngaku bahwa aku temanmu. Selama ini aku belum pernah pergi ke Mekah !” bentak saudagar Ubay dengan marahnya.

“Bukankah kau menjadi kaya berkat pertolongan ...” kata orang tua itu.

“Tidak ! Aku menjadi kaya seperti ini tanpa pertolongan siapapun. Aku berusaha keras. Dan inilah hasilnya.”

“Oh, Ubay ternyata kau jauh berubah,” seru orang tua tersebut.

“Sudahlah orang tua, cepat pergi dan jangan ganggu aku lagi.” bentak Ubay lagi.


“Kau benar-benar sombong. Ubay ! Bukankah kau dulu berasal dari keluarga miskin ?”

“Kurang ajar !” bentak Ubay sambil menempeleng pengemis itu sampai jatuh terjungkal. Namun pengemis itu segera bangkit lagi, dan menjawab: “Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi dari sini. Tapi ingatlah, kau akan menyesal atas kecongkakanmu.”

Entah kenapa hati Ubay bergetar saat mendengar ancaman orang tua itu.

“Amatilah aku baik-baik,” kata orang tua itu.

“Kau...kau....?” kata Ubay ragu.

“Pangkal ibu jariku tidak bertulang...” ujar lelaki tua itu.

“Kalau begitu kau adalah Nabi Khidhir !” sahut Ubay.

Orang tua itu mengangguk, sambil meninggalkan Ubay yang didampingi oleh sejumlah pengawalnya. Dalam sekejap tubuhnya sudah menghilang.

Alangkah terkejutnya Ubay. Ia Ingin mengejar orang tua itu untuk minta maaf. Semuanya sudah terlambat. Pengemis tua itu telah menghilang dari pandangan. Ubay tidak mengira bahwa pengemis tua itu adalah Nabi Khidhir yang pernah menolong dirinya sewaktu berada di Mekah. Menyesallah Ubay karena tidak sempat melayani pengemis itu dengan baik, yang sebenarnya beliau adalah Nabi Khidhir. Ubay telah melupakan janjinya untuk tidak sombong.

Apa yang dikatakan oleh pengemis tua itu benar. Beberapa saat kemudian, terjadilah kebakaran di tokonya, sehingga seluruh harta bendanya musnah menjadi abu. Tak satupun yang tersisa. Kini, Ubay bangkrut, kembali menjadi miskin. Bahkan lebih sengsara dari waktu masih muda, sebab kelakuannya di masa jaya sangat menyengsarakan tetangga dan masyarakat sekitarnya maka kini ia dicemoohkan orang.

Bagaimana dengan Amar yang menjadi Raja Maghribi ?

Ternyata watak Amar tidak berbeda dengan Ubay. Begitu menjadi raja, ia malah semakin sombong dan kejam, la tidak pemah memperhatikan nasib rakyatnya. Dalam kehidupan sehari-harinya, ia bersenang-senang saja, la tidak ingat pada pesan Nabi Khidhir dulu. Kemudian datanglah kutukan Allah yang ditimpakan kepadanya.

Pada waktu itu. Raja Amar sedang duduk bersama permaisurinya di istana yang megah itu. Tiba-tiba datanglah seorang pengawal kerajaannya.

“Tuanku ! Ada seorang laki-laki yang mendirikan sebuah gubuk kecil di lapangan depan istana, sehingga mengotori lingkungan dan tidak sedap dipandang mata,” lapor pengawalnya.

“Mengapa tidak kau larang ?” bentak Raja Amar.

“Sudah hamba larang, Tuanku, Tapi ia tetap membangkang. “Kurang ajar !” kata Baginda raja dengan marahnya.

“Dan anehnya, laki-laki tersebut mengaku pernah kenal dengan Tuanku. Karena itu, hamba tidak berani melarangnya. Jangan-jangan ia kenalan Baginda “ , jawab si pengawal gemetar.

“Kurang ajar !” seru Baginda raja sambil bangkit dari duduknya. Raut wajahnya merah padam.

Tanpa berbicara sepatah kata pun, berjalanlah Baginda menuju lapangan di depan istana bersama para pengawalnya. Ternyata benar apa yang dilaporkan oleh pengawal tersebut. Alangkah marahnya Baginda melihat gubuk yang kotor itu. Lalu ditendangnya gubuk tersebut sambil bersumpah. Tiba-tiba Baginda terkejut karena tangannya ditarik oleh seseorang. Ternyata yang menariknya adalah laki-laki penghuni gubuk itu.

“Jangan begitu, Amar !” tegur laki-laki itu.

“Apa kau bilang ?” bentak Baginda dengan marahnya.

“Bukankah aku hanya mencari tempat berteduh sebentar ? Kau jangan seperti orang tak tahu balas budi !” jawab laki-laki itu dengan tenangnya. “Diam kau !” bentak Baginda raja sambil menempeleng orang tersebut. Namun orang itu berhasil mengelak.

“Lupakah kau padaku, Amar ? Bukankan kita pernah bertemu di Mekah dulu ?” tanyanya.

“Diam ! Kau jangan mengada-ada,” bentak Baginda. “Bukankah kau pernah berjanji...” kata kata laki-laki itu.

“Buang orang ini jauh-jauh !” perintah Baginda Raja kepada pengawalnya.

Anehnya, tiba-tiba laki-laki tersebut bangun kembali dan berdiri dengan tegapnya. Kemudian orang tua itu menunjuk hidung Raja Amar.

“Kau benar-benar manusia tak tahu diri, Amar. Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi dari sini, tapi kau jangan menyesal, sebab orang yang kau hadapi sekarang ini adalah orang yang pemah menolongmu. Walau kau tak mengakui pertemuan kita di Mekah dahulu pada waktu haji Akbar!” kata laki-laki tersebut.

Mendengar jawaban itu, pucatlah wajah Baginda raja. Lalu dipeluknya orang itu untuk minta maaf. Namun ajaib sekali, tiba-tiba orang tersebut lenyap dari pandangan. Karena itu, Baginda raja jatuh terjerembab. Beliau menyesal atas tindakannya, tapi semuanya telah terlambat.

Tidak lama kemudian, datanglah malapetaka yang sangat hebat. Kerajaan Maghribi diserbu oleh kerajaan lain yang lebih kuat. Di samping itu teijadi huru hara di dalam negeri. Di mana-mana timbul pemberontakan melawan Baginda raja. Akhirnya, hancurlah kekuasaan Raja Amar. Bahkan ia sendiri melarikan diri dari istananya. Itulah balasan Allah terhadap manusia yang ingkar.

Lain halnya dengan Hafid. la tetap terpuji. Apalagi ia telah menjadi ulama besar di negeri Syam. Semakin tua, semakin banyak amalnya, la suka menolong terhadap sesamanya. Tidak gila harta, apalagi pangkat. Rumahnya selalu terbuka bagi siapa saja.

Pada suatu hari teijadilah suatu peristiwa yang aneh. Ketika itu Ustadz Hafid baru saja selesai mengerjakan shalat Jum’at. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki tua, lagi miskin.

“Bolehkah aku belajar di madrasah Tuan satu bulan saja ?” pinta orang tua itu.

“Oh, saya senang sekali bapak sudi belajar disini. Jangankan satu bulan, biar bertahun-tahun sekalipun saya tidak keberatan,” jawab ustadz Hafid. “Tapi aku orang miskin, ustadz,” kata orang tua itu pula.

"Ah. tidak apa-apa,” jawab Ustadz Hafid sambil menepuk bahu orang tua itu, “Mulai sekarang bapak jadi tamu saya”.

Lalu dibawanya orang tua itu ke rumahnya. Kepada isterinya dimintanya agar menyediakan makan siang. Tetapi makanan yang tersedia jumlahnya hanya sedikit. Oleh sebab itu, tamunya disuruh makan lebih dulu. Sementara Ustadz Hafid hanya menungguinya saja.

“Mengapa Ustadz tidak makan bersamaku ?” tanya tamunya agak heran.

“Biarlah bapak yang makan dulu,” jawab Ustadz Hafid.

Maka makanlah orang tua itu dengan lahapnya.

Selesai diberi makan, orang tua itu minta dipinjami pakaian. Maka Ustadz Hafid memberinya pinjaman pakaian. Namun pakaian tersebut tidak segera dipakai oleh tamunya. Akhirnya mereka asyik berbincang-bincang.

Setelah agak lama berbincang-bincang, tiba-tiba tamu itu berpamitan untuk pulang.

“Lho, mengapa bapak ingin pulang sekarang ? Bukankah bapak akan belajar di sini ?” tanya Ustadz Hafid keheran-heranan.

“Ilmu yang aku cari sudah kudapatkan!” jawab orang tua itu sambil tersenyum.

“Tapi bukankah kita baru bercerita sebentar ?”

“Justru itulah yang menggembirakan aku, Ustadz,” jawab orang tua itu. Aku memang sebentar benbincang-bincang dengan Ustadz. Tetapi dalam waktu yang sebentar itu, aku telah mendapatkan hikmah yang banyak sekali.”

“Ah, Bapak ini,” balas ustadz Hafid.

Aku mengatakan apa adanya, Ustadz. Aku benar-benar kagum memperhatikan keikhlasan hati Ustadz. Sungguh mulia hati Ustadz, dan selalu mensyukuri nikmat Ilahi. Percayalah, Allah pasti akan segera melimpahkan rezeki yang melimpah-limpah, dan menempatkan Ustadz pada tempat yang terpuji,” jawab orang tua itu sambil memegang tangan Ustadz Hafid.

Saat beijabat tangan itulah Hafid merasakan pangkal ibu jari tamunya tidak bertulang maka tahulah dia siapa sesungguhnya tamu itu.

“Ya Allah, jadi Tuan ini Nabiyallah Khidir AS?”

Tapi tiba-tiba tangan yang dipegang itu lenyap dan Nabi Khidhir telah menghilang dari pandangannya.

Doa nabi Khidhir ternyata makbul. Nama Ustadz Hafid semakin menjadi buah bibir masyarakat, Namanya semakin harum. Beliau banyak menerima sumbangan dari orang-orang kaya untuk membangun madrasahnya. Akhirnya berdirilah sebuah madrasah yang indah lagi megah, lengkap dengan segala peralatannya.

Ketika itu senja hari. Ustadz Hafid hendak pergi ke mesjid. Tidak tersangka-sangka, datanglah dua orang laki-iaki berbadan kurus. Pakaiannya kumal. Roman mukanya pucat. Melihat kedua laki-laki tersebut, berhentiiah Ustadz Hafid. Belum sempat menegur, mereka sudah bertanya.

“Apakah kau lupa padaku, Hafid ?” tanya yang seorang.

“Tuan ini siapa ?” tanya Ustadz Hafid agak heran.

“Saya Ubay, saudaramu,” jawab lelaki kurus itu.

“Ubay? Mengapa kau j adi begini ? Ya Allah! Bukankah kau menjadi seorang saudagar kaya di negeri Masyrik ?” Kata Ustadz Hafid tertegun.

“Ya, saya Ubay yang pemah jadi saudagar kaya. ‘Tapi saya lupa diri hingga jadi begini,” jawab Amar dengan nada memelas.

Kemudian mereka berpelukan dengan rasa haru sambil meneteskan air mata.

“Lalu temanmu ini...?” ‘tanya Ustadz Hafid lebih lanjut.

“Saya adalah Amar.”

‘Ya Allah....” kata Ustadz Hafid sambil memeluk Amar.

“Mengapa kau jadi begini Amar ? Bukankankah kau telah menjadi raja?“

“Benar apa katamu itu. Aku telah menjadi raja yang lalim dan kejam. Akhirnya terjadi revolusi di negeriku, rakyat berontak, ditambah serbuan dari negara asing yang lebih kuat. Maka aku akhirnya jadi gelandangan.”

Terjadilah suasana yang mengharukan mengenang nasib yang menimpa diri Ubay dan Amar. Mereka menangis menyesali nasibnya.

“Bolehkan saya menumpang di sini, Hafid ?” kata Amar memecah keheningan.

“Dengan senang hati saya menerimamu,” jawab Ustadz Hafid sambil menepuk bahu kedua saudaranya.

“Untung kalian belum terlambat. Pintu taubat masih terbuka. Andaikata kalian mati sebelum bertaubat, bagaimana nanti di akhirat,” kata Ustadz Hafid.

“Ya, untunglah kami mendapat peringatan Allah. Kalau tidak pastilah kami lupa diri terhadap Allah,” jawab Amar pada akhirnya.
Postingan Terbaru
Copyright © History Waliyullah. All rights reserved.