CERITA AYAH BERKELANA
Setelah selesai sembahyang Ashar seperti biasanya aku menjumpai ayah di tempat duduknya untuk mendengarkan lanjutan ceritanya. Keinginan ayah untuk Pesantren sudah amat kukuh, bahkan pada waktu berangkat ayah tak sempat pamit pada ayah dan ibu angkatnya. Dengan i 'tikad untuk mencari sebuah Pesantren ke arah Timur, ayah melanjutkan perjalanannya sampai begitu jauh hanya dengan memakai "BAKIAK" ( alas kaki dibuat dari kayu) dan dengan membawa bekal uang 3,5 sen.
![]() |
Cerita Ayah Berkelana |
Pada waktu itu jalan-jalan di Pedusunan tidak selebar dan sebagus sekarang. Menerobos hutan-hutan kecil yang penuh belukar, menyelusuri gunung, menyebari sernak-semak. Makan seadanya yang di pinggiran j alan, seperti bongborosan (Tumbuhan muda), daun-daunmuda, buah-bua.han yang terdapat di pinggiran jaIan dan hutan serta lain-lain yang dapat dimakan.
Untuk menghilangkan rasa sepi tiada lain hanya dengan membaca shalawat dan berdzikir. Dan bila tiba waktunya untuk bersembahyang mencari tempat yang cukup aman, karena maklum di hutan banyak terdapat hewan-hewan yang berbahaya. Seringpula ayah bertemu dengan binatang-binatang hutan, bahkan pada suatu hari menjelang Maghrib ayah melihat sesuatu gulungan setinggi manusia. Setelah diperhatikan ternyata seekor ular yang sedang menelan Kijang, berkat pertolongan Tuhan ayah terhindar dari bahaya tersebut. Dalam perjalanannya inipun ayah bertemu dengan seekor burung merak yang kemudian dibawa dalam perjalanan selanjutnya.
Setelah sekian lama berjalan sampailah ayah di tepi laut, dengan sangat gembiranya beliau memandang laut dengan pemandangan yang indah permai sampai ufuksana, seolah-olah tampak garis yang menjadi batas pertemuan antara langit dan laut sama luas.
Kemudian ayah membuka bekal yang dibawa dan merupakan makanan yang didapat dari pemberian orang-orang di perjalanan. Setelah melanjutkan perjalanannya ayah bermaksud kembali ke Cicalung karena tak berhasil menemukan sebuah pesantren yang dicarinya. Uang bekal yang dibawanya masih utuh kemudian dikembalikan pada Eyang dan Ema Jangkung.
Aku berdiam diri untuk beberapa lama merenung dan memikirkan begitu susahnya waktu itu untuk mencari sebuah pesantren. Berbeda dengan sekarang, Kiyai dan ulama ada disetiap pelosok, tempat-tempat pengajian terdapat di mana-mana, demikian juga Pondok Pesantren banyak berdiri dimana-mana. Lama aku merenung tersadar oleh ucapan ayah: "Demikianlah anakku keadaan masa itu, sekolah belum ada orang-orang banyak yang tidak dapat baca tulis. Soal pakaian pada masa itupun sangat sulit, tidak jarang untuk pergi juga meminjam. Pakaian yang ayah punya hanya sehelai kampret dan celananya (Kampret adalah pakaian khas yang dipakai oleh masyarakat Sunda).
Baca Selanjutnya Cerita Perjalanan Ayah Ke Daerah Selatan
Komentar
Posting Komentar