Langsung ke konten utama

Syekh Abdurrauf As-Singkili

Cetak Roll Banner, XBanner, Spanduk, Backdrop, Photo Paper, Kanvas, Bendera
Syekh Abdurrauf As-Singkili
SUFISME SEORANG MUFTI KERAJAAN ISLAM DI ACEH
Ia tidak hanya seorang mufti, tapi juga seorang guru tarekat sufisme di Indonesia

Syekh Abdurrauf As-Singkili
Bagi sebagian umat Islam di Indonesia, terutama masyarakat Aceh, tentu mengenal sosok ulama yang satu ini: Syekh Abdurrauf As-Singkili. Namanya masyhur karena peran dan kontribusinya yang begitu besar bagi dunia Islam di Indonesia. Ia merupakan ulama besar yang mewarnai Tarekat Sat-tariyah yang popular di India pada abad ke-15. Nama Sattariyah dinisbatkan kepada tokoh yang berjasa mengembangkannya, yakni Abdullah Al-Sattar.

Selama hayatnya, ulama yang dijuluki Syiah Kuala ini menelurkan sekitar 21 karya tulis yang terdiri dari satu kitab tafsir, dua kitab hadis, tiga kitab fikih, dan selebihnya kitab tasawuf. Bahkan Taijuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir Syiah Kuala yang pertama dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu, Salah satu karyanya yang dianggap penting bagi kemajuan Islam di Nusantara, yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid, Kitab ini ditulis ketika ia masih berada di Aceh. Kitab ini beredar di kawasan Melayu-Indonesia, bahkan luar negeri. Sejumlah ulama menyakini bahwa kitab tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Selain itu, kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir al-Qur'an dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.

Syekh Singkili juga menerjemahkan Ha-dits Arba'in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatud-din. Ia menulis kitab Mawa’iz al-Badi\ Kitab ini berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak. Dalam kitab tasawuf, Syekh Singkili menulis kitab Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.

Lalu ada pula kitab Kifayat al-Muhtajin ila Masyrah al-Muwahhidin al-Qailin bi Wahdatil Wujud, yang memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud. Selain itu ada juga kitab berjudul Daqaiq al-Hurf, yang berisi pengajaran mengenai taswuf dan teologi.

Karya tulis Syekh Abdurrauf kini masih bisa ditemukan di Pustaka Islam, Seulimum, Aceh Besar. Hal ini merujuk pada buku yang dikarang Teuku Ibrahim Alfian berjudul Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik yang berdasarkan hasil penelitian Al Yasa’ Abubakar. Disebutkan dalam tulisan itu, karya tulis As-Singkili lebih kurang mencapai 36 buah kitab. Bahkan salah satu kitab yang dikarangnya diabadikan oleh Profesor A. Meusingge dalam buku yang wajib dibaca mahasiswa Koninklijke Academic Delft, di Leiden. Dalam buku tersebut diulas isi kitab As-Singküi yang berjudul Mi'rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari’yyah li al Malik al-Wahhab.

Selain sebagai penulis yang produktif, Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercayakan sebagai mufti kerajaan Aceh pada masanya. Pengaruhnya sangat besar dalam mengembangkan Islam di Aceh dan meredam gejolak politik di kerajaan tersebut. Salah satu kebijakan populis pada abad pertengahan adalah restunya terhadap kepemerintahan ratu-ratu di Aceh. Syekh Abdurrauf Syiah Kuala wafat pada 1695 Masehi. Saat itu Aceh dipimpin Ratu Kamalat Syah.

Namanya kini dilakabkan menjadi nama Universitas Syiah Kuala atau Unsyiah. Universitas itu berada di Darussalam, Banda Aceh. Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercaya memiliki dua makam. Satu berada di Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Satu lagi di Desa Kilangan, Singkil.

Makam di Singkil berada di bibir Kru-eng Singkil. Banyak peziarah mendatangi makam ini, baik dari Aceh maupun dari luar pengajaran mengenai taswuf dan teologi.

Karya tulis Syekh Abdurrauf kini masih bisa ditemukan di Pustaka Islam, Seulimum, Aceh Besar. Hal ini merujuk pada buku yang dikarang Teuku Ibrahim Alfian berjudul Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik yang beidasarkan hasil penelitian AlYasa’ Abuba-kar. Disebutkan dalam tulisan itu, karya tulis As-Singkili lebih kurang mencapai 36 buah kitab. Bahkan salah satu kitab yang dikarangnya diabadikan oleh Profesor A. Meusingge dalam buku yang wajib dibaca mahasiswa Koninklijke Academic Delft, di Leiden. Dalam buku tersebut diulas isi kitab As-Singküi yang berjudul Mi'rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari’yyah li al Malik al-Wahhab.

Selain sebagai penulis yang produktif, Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercayakan sebagai mufti kerajaan Aceh pada masanya. Pengaruhnya sangat besar dalam mengembangkan Islam di Aceh dan meredam gejolak politik di kerajaan tersebut. Salah satu kebijakan populis pada abad pertengahan adalah restunya terhadap kepemerintahan ratu-ratu di Aceh. Syekh Abdurrauf Syiah Kuala wafat pada 1695 Masehi. Saat itu Aceh dipimpin Ratu Kamalat Syah.

Namanya kini dilakabkan menjadi nama Universitas Syiah Kuala atau Unsyiah. Universitas itu berada di Darussalam, Banda Aceh. Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercaya memiliki dua makam. Satu berada di Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Satu lagi di Desa Kilangan, Singkil.

Makam di Singkil berada di bibir Krueng Singkil. Banyak peziarah mendatangi makam ini, baik dari Aceh maupun dari luar antara orang Melayu dan kaum muslim dari Asia Barat serta Selatan.

Beberapa tahun kemudian Syiah Kuala berangkat ke Banda Aceh dan belajar pada Syamsuddin Sumatrani, seorang ulama pengusung wujudiyah. Syiah Kuala melanjutkan pendidikan ke Jazirah Arab pada 1642 Masehi. Tercatat sekitar 19 guru pernah mengajarinya berbagai disiplin ilmu Islam, selain 27 ulama terkemuka lainnya.

Kepergiannya ke Jazirah Arab untuk beribadah dikarenakan adanya kontroversi dan pertikaian antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar Raniri dan para pengikutnya.

Dengan alasan ini jelas bahwa Abdur-rauf mengetahui semua permasalahan yang mengakibatkan terjadinya penganiayaan terhadap pengikut dokrin wujudiyyah dan pembakaran karya-karya Hamzah Fansuri. Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kepergiannya ke tanah Arab karena menunaikan ibadah haji.

Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Mekah, dan Madinah. Studi keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Oadir al Mawrir. Ia telah merantau di tanah Arab selama 19 tahun, dan idealnya (pada umumnya), seseorang merantau pada usia muda (25-30 tahun). Sedangkan beliau kembali ke Aceh pada tahun 1661.

Selama berada di Mekkah, Syekh Abdurrauf tinggal di rumah Aceh di Kampong Ousyasyiyah dan belajar pada Syekh Ahmad Qusyasyi. Di Mekkah beliau juga sempat belajar dengan Syekh Nuruddin Ar Raniry yang kebetulan berada di Mekkah pada waktu itu.

Dari Banda Aceh, tuan Syekh Abdurrauf melanjutkan perjalanan ke Singkil sebagai kampung tempatnya dilahirkan dan kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan sebagai Oadli Malikul Adil / Mufti besar dan Syekh Jamiah Baiturahim untuk menggantikan kedudukan Syekh Nuruddin Ar-Raniry.

Jabatan itu berturut-turut dipangkunya di masa pemerintahan Ratu, di antaranya Ratu Safiatuddin, Ratu Naqiatuddin, dan Ratu Zakiatudin serta Ratu Kamalatsyah. Di masa pemerintahan tiga ratu yang akhir, pada hakikatnya yang memegang pucuk pemerintahan adalah tuan Syekh Abdurrauf dari belakang layar.

Kini tuan Syekh Abdurrauf telah tiada, namun namanya sangat harum dan mashyur di hampir seluruh penjuru dunia. Bagi masyarakat Aceh Singkil, Syekh Abdurrauf merupakan seorang maha guru yang paling berjasa dalam pengembangan Islam di Kabupaten Aceh Singkil, serta ulama kharismatik sepanjang zaman. H (Diolah dari berbagai sumber).
Postingan Terbaru

Komentar

  1. Begitulah kalau orang yang berjuang dengan ikhlas, walaupun Syekh Abdurrauf As-Singkili sudah tiada namun ajarannya tetap hidup.

    BalasHapus

Posting Komentar

Copyright © History Waliyullah. All rights reserved.