Langsung ke konten utama

Menunggu Cerita Sang Kakak

Cetak Roll Banner, XBanner, Spanduk, Backdrop, Photo Paper, Kanvas, Bendera

Dengan luapan kegembiraan aku beserta sau­dara-saudaraku memburu untuk menjemput mereka. Begitu inginnya aku mendengarkan kisah perjalanan mereka. Dengan sabar aku menunggu mereka hingga cukup waktu untuk mereka ber­istirahat setelah perjalanan yang melelahkan itu. Setelah mereka cukup beristirahat, Paman Abu Bakar Faqih mulai menuturkan pengalamannya yang penuh suka duka mulai dari perjalanan ke Jawa Tengah sampai tiba di Madura, kakinya sampai bengkak melepuh. Suatu kebiasaan di Bulan Maulud para ikhwan (Anak murid Ayah) mengadakan perjalanan untuk berziarah ke Makom-Makom para Wali Sanga. Kadang-kadang aku diajak ikut serta.
Sebagaimana kita maklumi, bahwa dalam rangka penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dipelopori oleh para Mubalig yang lebih dikenal dengan sebutan Wali. Para wali itu merupakan suatu Dewan yang terdiri dari 9 anggota yang oleh masyarakat kita dikenal sebutan "Wali Sanga"
1.    Maulana Malik Ibrahim di Gresik
2.    Sunan Ampel di Surabaya
3.    Sunan Bonang (Putra SunanAmpel) di Tuban
4.    Sunan Giri di Gresik Jatim
5.    Sunan Drajat (Putra Sunan Ampel) di Lamongan
6.    Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak
7.    Sunan Muria (Putra Sunan Kalijaga) Umar Syaid
8.    Sunan Kudus Rd. Ja'far Sidiq
9.    Sunan Gunung Djati Sjarif  Hidayatullah di Cirebon
Dalam Ziarah tersebut yang pertama di­singgahi oleh Khafilah Peziarah adalah kota Cirebon, untuk sekalian bermaulud di Trusni, yang seperti biasa dirayakan dengan berma­cam-macam hiburan selama 3 malam.
Ziarah yang dimulai dari ayah ini ber­langsung terus sampai sekarang. Sebagai pe­lanjutnya itu dikenal dengan panggilan (ABAH. ANOM). Oleh penggantinya ini nama Patapan dikenal dengan Pondok Pesantren Suryalaya. Karena setiap tahunnya Pesantren ini semakin banyak dikunjungi maka makin banyak pula para ikhwan yang ikut serta berziarah, sesuai dengan tutur kata Ayahanda yang menjadi kenyataan "Idhah bila nanti Ayah telah tiada, kakakmu Mumun (Abah Anom) sebagai pengganti ayah, muridnya akan lebih banyak lagi, bahkan dari negara-negara lain pun akan berdatangan ke Suryalaya".
Di kota Cirebon para khafillah menuju ma­kam Syekh Syarif Hidayatulllah, yang terletak di Pusara Agung gunung Sembung. Menurut ri­wayatnya beliau adalah putra Syekh Syarif Abdullah dari Mekah, seorang keturunan nabi Muhammad SAW yang ke 21. Syekh Syarif Abdul­lah ini menikah dengan Ratu Mas Rarasantang. Putri Prabu Siliwangi yang beragama Hindu. Tetapi kemudian ia masuk Agama Islam. Dari kota Cire­bon kemudian dilanjutkan ke Demak, yang me­rupakan ibu kota Kerajaan Islam yang utama di Jawa (1475) Shultannya bemama Rd. Fatah yang mendapat tugas dari gurunya SunariAmpel (Ketua Dewan Wali Sanga), untuk membuka madrasah dan Pondok Pesantren, yang akan dijadikan Pusat kegiatan Dewan Wali Sanga dalam penyebaran Agama Islam. Pesantren tersebut mula-mula berdiri di Desa Glagah Wangi, setelah berkembang men­jadi kota namanya diubah menjadi Demak.
Sepanjang perjalanan menuju Demak, Rom­bongan Khafillah ini menarik banyak perhatian. Iring-iringan mobil Khafillah yang sangat pan­jang menjadi tontonan orang-orang di sepanjang jalan. Bila kebetulan di malam hari melewati gunung-gunung pemandangan disekitamya amat mengesankan. Suara mesin yang menderu-deru amat memekakan telinga sehingga amatlah sulit untuk memejamkan mata sekalipun sudah amat lelah. Maka puji-pujian yang bergema penuh keikhlasan mulai menghilang kurang bersema­ngat. Untunglah kemudian fajar mulai menying­sing di ufuk timur dengan sinamya yang menguning keemas-emasan.
Tiba di Demak menjelang sembahyang Shu­buh, seusai sembahyang berjamaah dengan Aurad dan dzikir yang dilanjutkan dengan sembahyang Istikhoroh rombongan beristirahat disekitar Mesjid sambil menghirup udara pagi yang sejuk. Banyak penjual makanan dan minuman yang mulai men­jajakan barang dagangannya.
Mesjid Agung yang kita singgahi bila di­perhatikan baik keadaan di dalam maupun di luar nampak megah Agung dan indah. Balok-balok besar yang menyangga kubah mesjid di ukir sangat indah. Tiang-tiang kecil yang juga diukir tersusun rapi dan serasi, disebut Soko Tatal. Mes­jid ini dibangun oleh para Wali Sanga ketika hendak memperluas Aj aran Agama Islam. Setelah cukup beristirahat rombongan ziarah dilanjutkan menuju Kadilangu dan Kudus.
Dikadilangu ini rombongan menuju makam RM. Syahid yang bergelar Sunan Kalijaga, beliau putra KI Temenggung Wilatikta, Bupati Tuban. Diantara sembilan Wali, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar. Seorang pujangga dan filosof, beliau juga yang berinisiatif me­ngarang cerita-cerita wayang dengan mengambil tema ajaran-ajaran Agama terutama Agama Islam. Cerita-cerita wayang yang umumnya menganut ajaran Hindu dan Budha sebanyak mungkin di­masukan unsur Islam sehingga merupakan hiburan yang dapat memikat masyarakat. Dalam Dakwah­ dakwahnya didahului oleh suara gamelan yang menarik minat banyak orang.
Dari Kadilangu rombongan khafilah ini me­lanjutkan perjalanan ke Kudus, Ziarah ke makam Ja'far Sidiq atau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus, putra dari R. Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang ­panolan sebelah utara kota Blora, disamping se­bagai guru agama beliau menjabat sebagai Senopati dari kerajaan Islam Demak. Peninggalan beliau diantaranya Mesjid Raya di Kudus dengan menara kunonya yang indah.
Perjalanan dilanjutkan ke Gunung Muria menuju makam Rd. Umar Syaid atau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Muria. Beliau adalah putra Sunan Kalijaga yang mendapat tugas berdakwah di Desa-desa yang jauh dari keramaian. Beliau lebih suka menyendiri dan hidup ditengah rakyat jelata di sepanjang gunung Muria yang letaknya ± 18 km sebelah Utara Kudus. Beliaulah yang berusaha mem­pertahankan gamelan sebagai sarana untuk memasukan rasa keislaman dalam jiwa rakyat, karena sesuai dengan kepribadian dan adat isti­adat masyarakat Indonesia pada waktu ih1, beliau dikenal dengan sebutan Sunan Muria sebab beliau di makamkan di gunung Muria.
Untuk mencapai makam tersebut harus melalui jalan yang berliku-liku yang banyak terdapat jurang-jurang terjal dengan jalannya yang naik turun pula. Dengan selamat khafilah sampai di tujuan, kemudian berebut dan berbon­dong-bondong turun untuk mencari pemondokan masing-masing. Rombongan yang terdiri dari beberapa daerah seperti: Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur, Jakarta, Sukabumi, dan lain-­lain. Kemudian menjadi amat sibuk untuk mem­persiapkan keperluan tiap rombongannya.
Keesokkan harinya bersiaplah semua khafilah untuk mulai berziarah ke makam dipuncak Gunung yang merupakan deretan yang panjang dan teratur sambil mengumandangkan sholawat dengan hidmat. Pemandangan dari gunung membentang luas ke lembah dibawahnya dimana terlihat sawah-sawah datar menghampar sampai batas garis penglihatan diujung sana, menimbul­kan rasa dan kesadaran begitu aib dan kecilnya manusia itu dibandingkan dengan alam ciptaan Tuhan. Setelah menaiki tangga-tangga yang sangat melelahkan, maka sampailah di makam yang dituju, kemudian beristirahat diserambi masjid yang berada di dekat makam itu. Ketika menuruni tangga untuk kembali perasaan ngeri menyerang ketika memandang ke bawah nampak jurang­jurang yang menganga menyeramkan dan diatas­nya tebing-tebing nampak tinggi. Setelah semuanya siap berada di mobilnya masing-masing maka kami meneruskan lagi perjalanan dengan menuju Surabaya dan Madura. Di Surabaya rombongan menuju Gresik untuk Ziarah di makamnya Syekh Maulana Milik Ibrahim, dan ke Sunan Ampel di Pondok Pesantren Ampeldents dekat kota Surabaya. Maulana Malik Ibrahim, dikenal dengan Syekh Magribi menurut riwayatnya adalah seorang keturunan dari Zaenal Abidin bin Hassan bin Ali r.a. Beliau mendirikan Pesantren-pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik serta menggembleng para santrinya sebagai calon Muballighin dan Mu­ballighoh.
Pendukung dan juga sebagai penerusnya adalah santrinya bemama Rd. Rochmat yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Ampel dan menjadi ketua dari Wali Sanga. Sebagaimana gurunya beliau juga membuka Pondok Pesantren di Ampeldents sebagai pusat Pendidikan Pemuda Islam sebagai kader yang terdidik, untuk kemudian disebar ke berbagai tempat di seluruh pulau Jawa, diantaranya Rd. Fatah yang kemudian diangkat menjadi sultan dan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak.
Rombongan yang menginap di PHI, keeso­kan harinya bersiap-siap untuk melanjutkan per­jalanan menuju Madura, dengan melalui pelabuhan Ujung dari sana melalui Selat Madura de­ngan memakai kapal Feny menuju Kamal di Pantai Madura.
Sambil menunggu datangnya kapal aku dan anak-anak lainnya duduk di tepi pantai menikmati keindahan alam di laut yang ramai. Kapal-kapal baik yang besar maupun yang kecil, tongkang ­tongkang dan perahu-perahu bermotor lainnya melaju hilir mudik, kadang-kadang berkejaran di sepanjang pantai pelabuhan. Ombak dan gelom­bang besar bergulung-gulung berlarian, kadang pasang dan kemudian surut kembali. Semuanya itu sangat menggugah hatiku hingga berfikir beta­pa ray a dan indahnya ciptaan Tuhan ini.
Ketika kapal datang semua penumpang ber­hamburan naik ke atas kapal demikian pula mobil-­mobil dan peralatan lainnya juga dinaikan. Aku dan juga orang-orang lainnya naik menuju dek yang nampak ramai. Pedagang-pedagang yang menjajakan makanan di atas kapal menambah panasnya udara. Tetapi setelah kapal mulai melaju makin cepat, angin menerpa dingin sehingga pa­nasnya udara tidak lagi sangat mengganggu. Tidak
sampai satu jam kapal kemudian mula merapat di dermaga. Para khafilah kembali bersiap dalam bis dan kendaraan masing-masing menuju makam Syekh Holil di Madura yang kemudian dilanjutkan ke bukit Batungampar.
Jalan menuju Batungampar amat terjal menaik dan berbatu. Dasarnya merupakan perkampungan, dengan anak-anak yang berlari-lari tidak berpakaian berteriak-teriak minta dilempari uang. Dan ken­daraan-kendaraan itu kemudian dijatuhi uang dan macam-macam makanan yang diburu anak-anak dengan penuh kegembiraan. Ketika kendaraan yang membawa rombonganku kembali ke Der­maga ternyata kapal sudah berangkat. Karena kapal itu merupakan kapal terakhir untuk hari itu terpaksa rombongan yang tertinggal harus tidur di mobil pada malam itu. Pagi-pagi sekali kami naik kapal yang paling awal dan sampai di hotel PHI, dengan selamat.
Sudah menjadi kebiasaan dalam perjalanan kembali dilakukan dengan santai dan be bas, karena tidak terikat waktu lagi. Di daerah Rembang jalanan mulai menelusuri pantai yang kadang-kadang berhenti untuk beristirahat dan menikmati peman­dangan alam. Sampai di kota Tegal di sambut oleh paraikhwan yang pada saat itu sedang memperingati Maulud Nabi. Dengan penuh penghormatan dan keakraban khafilah dijamu sekedarnya.
Perjalanan dilanjutkan dan ketika sampai di Palimanan yaitu Kewedanan yang tidak jauh dari kota Cirebon perjalanan berhenti dan kami me­nginap di sana. Di malam harinya banyak anggota rombongan yang berjalan-jalan untuk membeli oleh-oleh atau hanya sekedar jalan-jalan. Di daerah inilah keesokan harinya rombongan terpencar me­nuju daerahnya masing-masing.
Demikianlah pengalamanku ikut berziarah ke Makam para wali Sanga yang menjadi pelopor dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa bah­kan di seluruh Nusantara. Karena jasa para Wali itulah banyak penganut Islam yang masuk dengan Sukarela tanpa paksaan dan kekerasan, melainkan dengan ketekunan, ketabahan hati, kebijaksanaan, ramah tamah dan kesadaran akan tugas yang diberikan oleh Penciptanya dan Rasul-Nya.
Baca selanjutnya Mengungsi
Postingan Terbaru

Komentar

Copyright © History Waliyullah. All rights reserved.