Langsung ke konten utama

Mengungsi

Cetak Roll Banner, XBanner, Spanduk, Backdrop, Photo Paper, Kanvas, Bendera
Negara Indonesia sebelum kemerdekaannya dijajah oleh bangsa Belanda selama ± 350 tahun, selanjutnya oleh bangsa Jepang selama 3.5 tahun. Kemerdekaan Indonesia bukanlah suatu hadiah dari penjajah, melainkan diperoleh melalui perjuangan yang telah menelan korban kesumah bangsa, tentara, laskar-laskar dan juga pemuda pemudi ikut pula menghiasi dalam sejarah negara dan bangsa. Tidak sedikit pengorbanan yang dideri­ta baik fisik, material akibat kekejaman bangsa penjajah. Tetapi dengan semangat yang menggebu dalam diri rakyat walaupun dengan persenjataan yang sangat sederhana sekalipun mereka tak gentar untuk berani maju mere but kemerdekaan. Setelah mengarungi lauatan darah dan letusan senjata yang menggelegar disertai jeritan-jeritan yang menjadi korban, akhirnya sampailah pada apa yang kita harapkan yaitu kemerdekaan Indonesia.
Selama masa perjuangan bangsa Indonesia mengalami kesukaran dan kesusahan, kepahitan dan penderitaan yang tidak sedikit. Hidup tak me­nentu, usaha tidak dapat berjalan dengan baik, bertani tidak mungkin, tenaga dan harta hilang musnah guna pembiayaan perang dan perjuangan maupun karena pemerasan oleh bangsa penjajah. Kebutuhan hidup makin lama makin tak dapat di­penuhi. Rakyat menjadi miskin dan kelaparan, kedinginan karena tempat mereka berlindung rusak akibat kekejaman penjajah.
Karena ketakutan tidak sedikit penduduk me­ngungsi mencari tempat yang aman untuk ber­lindung. Sampailah mereka di tempat tinggalku yang mereka anggap cukup aman untuk berlindung dari kejaran penjajah. Tetapi kemudian seperti juga desa-desa lainnya Belanda dapat menduduki desa
Warudoyong sehingga pengungsi-pengungsi bah­kan keluargaku juga melarikan diri untuk mencari tempat pengungsian lain. Aku dan keluargaku sampailah disuatu desa yang sangat terpencil ditepi gunung yaitu kampung Cisero (Cisirna).
Kerawanan yang ditemui sepanjang perjala­nan mengungsi tidak menjadi halangan. bagi pen­duduk yang ketakutan. Berbondong-bondong orang yang naik ke atas gunung dengan membawa perbekalan yang bisa mereka bawa dalam kepani­kannya. Orang-orang dengan peluh dimukanya merupakan pemandangan yang sangat mengharu­kan dengan barang-barang seperti kasur, bantal atau tikar terpikul di pundaknya. Ibu-ibu yang menggendong anaknya dengan sebelah tarigan karena tangan lainnya dipakai untuk mengangkat barang perbekalan mereka. Anak-anak yang nam­pak lemah berjalan terseok-seok bahkan ada yang membawa kambing yang terikat. Haru dan iba hingga tidak terasa air mata membasahi pipiku ketika kulihat kakakku yang nampak kusut, pucat dan kesakitan terusung di atas tandu.
Setelah mencapai setengah_ hari perjalanan sampailah di tempat yang dituju. Kami sekeluarga ditampung oleh seorang kenalan yaitu Pak Hadali. Ayah yang sudah lanjut usia kelihatan sangat lelah dan berjalan terhuyung-huyung sehingga harus dibantu oleh Pak Engkos dan pak Anta sampai ke tempat peristirahatan. Sedangkan para pengungsi lain mulai menyebar mencari tempat masing-ma­sing.
Bila malam tiba kami berkumpul mengelili­ngi lampu yang dipasang remang-remang karena takut sinarnya terlihat oleh kapal udara yang sedang patroli. Jilra terlihat sinar sedikitpun maka tanpa ampun Belanda akan menjatuhkan bom-bomnya untuk menghancurkan perkampungan. Selama tu­juh hari mengungsi kami kembali ke Patapan yang sudah terjaga ketat oleh para pemuda yang dipim- pin oleh R. Hasanudin (Kepala Desa Tanjungkerta) dan Wiranta.
Sebagaimana kita ketahui bangsa Indonesia pada waktu itu bukan saja harus menghadapi sera­ngan-serangan yang dilancarkan oleh segerom-bolan pemberontak D.I. (Darul Islam). Pemberon­tak ini merajalela meneror, sehingga terdapat dua kekuasaan dengan Belanda di kota dan pemberon­tak D.I di pegunungan.
Aku yang pada waktu itu dalam keadaan hamil terpaksa berpisah dengan saudara lainnya untuk mencari tempat yang aman dan tenang sampai ke­lahiran bayiku. Dengan menelusuri sungai Ci­tanduy sejauh 1/2 km kemudian menyebrangi jembatan kecil yang sudah amat rapuh, aku pergi ke Tenjolaya ditemani dua orang pembantu yang setia Ioh dan Otto. Dengan menggendong anak dan membawa buntalan yang berisi barang-ba­rang yang dibutuhkan kami terus berjalan me­lalui hutan belukar. Dengan rasa takut dan cemas bertemu dengan gerombolan pemberontak kami terus berjalan dengan tidak berhenti berdo'a mohon petunjuk-Nya. Setelah berjalan selama 3 jam sampailah di kampung yang sangat jarang. Ternyata di sana sudah banyak pengungsi­ pengungsi lain sehingga untuk beberapa lama aku bingung mencari tempat menginap.
Dalam kebingungan muncul seorang kakek yang setelah bercakap-cakap temyata seorang kepala desa yang kenal baik dengan ayahku. Kami dibawa ke rumahnya dan diperkenalkan dengan istrinya yang menerima kami dengan baik. Beliau mengorbankan kamarya untuk ditempati sedang­kan beliau beserta istrinya tinggal di rumah anak menantunya.
Para pengungsi yang datang di desa itu datang dari berbagai tempat seperti Garut. Diantara rom­bongan ini tak disangka sebelumnya aku bertemu dengan seorang famili suamiku dengan dua ke­ponakan, adik Cicih dan dua orang anaknya Ema dan Adang ikut mengungsi dengan rombongan lainnya dari daerah Garut. Dalam pengungsian itu kami merasakan perasaan senasib dan sepen­deritaan bersama dengan para pengungsi lainnya.
Kami tidak lama tinggal di desa yang pen­duduknya ramah itu karena aku merasakan saatnya untuk kelahiran bayiku. Kemudian kami me­ngungsi ke Warudoyong yang kebetulan disana ada seorang bidan yaitu Ibu Masitoh. Dengan rahmat Tuhan maka aku melahirkan dengan sela­mat dan bayi itu diberi nama Juju Juhariah. Sete­lah cukup kuat untuk berjalan kan1i kembali ke Patapan.
Namun kerusuhan makin bergejolak di mana­ mana, perjuangan untuk merebut kemerdekaan makin berkobar dan puncak dari semua perjuangan itu kemudian di Proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun demikian perjuangan tidak hanya sampai di-sini saja, karena perjuangan masih harus berjalan. Gelisah resah dan takut bergejolak dalam kalbu setiap rakyat Indonesia menghadapi serangan-serangan Belanda kemudian. Dalam keadaan demikian penjagaan di perkuat. Untuk memperingati rakyat dalam keadaan bahaya adalah dengan bunyi kentongan. Bila kentongan berbunyi berulang kali tanpa berhenti merupakan tanda bahaya bagi rakyat karena adanya serangan dan bila berbunyi 2 kali kentongan dengan peran­taraan berarti bahaya sudah lewat.
Disetiap rumah penduduk di buat lubang yang berukuran 4 m2 yang dalamnya ± 2-3 m.
Sehingga bila ada tanda bahaya penduduk dapat bersembunyi dalam lubang. Setiap orang menjadi panik dan ketakutan serta merasa dingin di dalam lubang persembunyian, terasa menyiksa ketika terdengar dentuman-dentuman peluru dan born. Pada saat seperti itu terasa benar akan adanya perlindungan Tuhan dapat menyelamatkan kita.
Tidak jarang ditengah malam ketika semua terlelap, terdengar bunyi kentongan tanda bahaya. Penduduk dengan rasa panik terbangun dan berlarian mencari perlindungan di dalam lubang masing-masing. Pemah suatu hari ketika aku dan kakakku sedang menonton orang yang beramai­-ramai menangkap ikan, sekonyong-konyong bunyi kentongan menjadi terkejut lari jatuh bersimpuh di kebun tebu peluru bertebaran diatas dan depan kepalaku. Dengan pertolongan Tuhan aku selamat dari bahaya, terdengar letusan senjata mulai ber­kurang karena perlawanan rakyat yang gigih dan ta bah.
Ternyata perjuangan rakyat tidaklah sia-sia, pengorbanan yang begitu besar sekarang mendapat imbalan yang besar setelah bangsa kita terhindar dari bahaya penjajahan.
Perjuangan yang sekarang merupakan per­juangan untuk tetap mempertahankan kemer­dekaan ini serta mengisi kemerdekaan dengan pembangunan guna kesejahteraan rakyat.
Kisah Selanjutnya Riadhoh (Wirid) Ayah
Postingan Terbaru

Komentar

Copyright © History Waliyullah. All rights reserved.