AYAH BERPULANG KE RAKHMATULLAH
Pada tanggal 1 Januari 1956 ayah berpulang ke Rakhmatullah, dalam pengungsian di Tasikmalaya di rumahnya Bapak H. Sobari. Kutuliskan disini agar diketahui oleh anak cucu untuk mengingatkan mereka bahwa kita semua sebagai makhluk Ciptaan-Nya yang masing-masing telah ditetapkan hidupnya di dunia yang yang Fana ini, akan kembali ke pangkuan-Nya Walaupun bagaimana sayangnya kepada orang tua, terlambat kuat kepada-Nya lahir dan bathin, namun akhirnya kita harus juga berpisah, tidak ada kekuasaan untuk menolak takdir Ilahi.
Beliau telah menurunkan warisan yang sangat berharga Mutiara yang tiada tandingannya tinggi nilainya, terbungkus dalam kalbu, jasad, rokh, rasa dengan darah mengalir meresap diseluruh badan Lafadz ALLAH YANG MAHA PENCIPTA. Dan wasiatnya yang dinamakan "TANBIH'' cetusan, kesayangan, kecintaan dan keikhlasan beliau, memberikan pedoman hidup bagi yang ditinggalkan anak cucu dan ikhwan.
Karena gangguan Gerombolanlah yang membuat ayah harus mengungsi ke Tasikmalaya, sedangkan keamanan di Patapan dipercayakan kepada kakakku H. Shohib dan H. Mahmud yang dibantu oleh R. Hasanudin yang bertanggungjawab atas keamanan beserta H. Hamdan juga para pemuda seperti; Engkos, Wiranta, Anta dan Muchtar.
Pada suatu malam gerombolan masuk· di daerah patapan, merajalela membuat keonaran, merampok, merusak segala macam yang ada, bahkan penduduk yang tidak menurut di tembak seketika, sehingga banyak mayat bergelimpangan dan orang-orang yang terluka terkapar mengerang kesakitan. Dan pada pada akhirnya pemuda Muchtar dengan gagah berani melawan para gerombolan sebagai pahlawan.
Ketika peristiwa itu terjadi aku dan adikku sedang ada dalam pengembaraan di kota Bandung. Dalam pengembaraan itu aku sering terganggu oleh mimpi buruk mengenai ayah, dan setiap peristiwa yang tergambarkan dalam mimpiku itu kucatat dalam buku. Karena mimpi itu terjadi berulang kali aku menjadi sangat lelah, lesu bahkan sering tak sadarkan diri. Ak.u berpikir ada apakah gerangan dengan mimpiku ini. Selang beberapa hari datang surat yang mengabarkan bahwa ayah dalam keadaan sakit clan aku harus segera pulang ke Tasikmalaya.
Sampai di rumahnya Pak. H. Sobari di Tasik malaya aku langsung menemui ayah ditempat tidurnya. Pendapatku bahwa ayah sedang berbaring lemah di tempat tidurnya, ternyata keliru. Kulihat ayah duduk diatas pembaringannya di kelilingi saudara-saudara termasuk adikku Nur Anom yang masih sekolah di Yogyakarta. Semua saudara dan famili yang dari Patapan sudah pada datang, kecuali seorang kakakku yaitu H. Shohib yang datang agak terlambat.
Anakku Tejahasanah yang baru berusia 6 bulan rewel terus tidak mau berhenti menangis. Tetapi setelah ditimang oleh Ma Uneh (Ibu Tiriku) dan ditegur ayah akhimya anak itu berhenti menangis. Dengan agak heran dan juga bahagia aku melihat ayah nampak sehat dan bahagia bercakap-cakap dengan anak menantunya. Saat itulah aku bercerita tentang mimpiku aku diajak padanya bahwa dalam mimpiku melihat gedung-gedung yang indah dan megah penuh dengan gemerlapnya lampu-lampu, tetapi diakhir mimpiku tiba-tiba sebelah subangku hilang. Dan ayah berkata "Bungkus saja subang yang sebelah, sambil beliau menyuruhku melihat-lihat menara yang tinggi-tinggi, sehingga tidak tampak puncak nya." .... anakku .... " bila orang akan pulang ke Rakhmatullah maka kesanalah jalannya''.
Sambil tersenyum kemudian ayah berkata: "Maafkan ayah pada semuanya dan bila ada yang mempunyai utang atau janji sekarang bebas, ayah mendo 'akan semoga tawakal selamat dunia dan akhirat. Kemudian beliau memanggil Ma Uneh dan meminta supaya pakaiannya semua dikumpulkan, untuk dibagikan pada anak-anak. Setelah semua terkumpul ayah menyuruh kami untuk memilih dan mengambilnya. Suami saya (Kang Bustom) sampai berkata "Ayah kok seperti akan membuka warisan saja". Ayah menjawab dengan sebuah senyuman yang membuat aku sangat sedih sehingga menangis tersedu-sedu. Perasaanku seperti tak dapat dibohongi bahwa ayah akan meninggalkanku.
Hatiku terasa memikirkan bahwa aku harus berpisah dengan ayah yang tercinta. Ya Allah berilah kekuatan dalam hatiku .... , jeritku dalam hati, temyata jeritan itu tak terasa keluar melalui mulutku sehingga ayah harus menenangkan aku.
"Sudahlah .... tak usah menangis. Nih untukmu ambillah" Ayah melemparkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi baju paruang putih dengan sorban yang juga berwarna putih. "Peliharalah baik-baik", lanjutnya padaku.
Tak lama kemudian datang kakakku dari Patapan yang kemudian bersujud di depan ayah. "Syukur kau sudah datang anakku . ... "Kakakku bersimpuh dipangkuan ayah dengan air mata bersimpah dimukanya." bangunlah, sudah jangan menangis. Simpanlah ini baik-baik untukmu". Seperti juga padaku ayah memberikan bungkusan lain untuk kakakku. Waktu itu famili yang berkumpul disana yaitu : Ki Abu-bakar Faqih, kiyai Muchtar, Abah Dullah, Pa Asik dan lain-lain ikut mendengarkan kabar dari kakakku mengenai keadaan di Patapan yang masih dalam keadaan tidak aman.
Pagi hari itu aku menemui ayah berada di halaman rumah berjalan-jalan dengan memakai pakaian panjang warna hitam dengan bertopang pada sebuah tongkat. Tampak sehat dan segar sehingga aku mempunyai waktu untuk menyatakan niatku kembali ke Bandung. Saat itu pula datang adikku Noor Anom yang bersekolah di Jogja menyatakan yang sama dengan maksudku. Tetapi ayah menyatakan untuk menunda keberangkatannya sampai hari Kamis, tapi karena dia harus ujian maka akhirnya beliau mengizinkan. Dengan penuh terima kasih adikku pergi untuk mempersiapkan keberangkatannya. Ayah kemudian berpaling padaku. "Nah, pulanglah. Utamakan kewajiban bagi suami dan anak-anak, sekalipun orang tua meninggal tidak hadirpun tidak mengapa daripada meninggalkan suami tanpa izinnya. Hal ini akhirnya akan menjadi selamat bagi ayah dan ibunya Walaupun aku diberi dengan penuh, tetapi kekhawatiran tumbuh dalam benakku sehingga menjadi cemas untuk meninggalkan ayah tercinta.
Keesokan harinya setelah aku pamit pada semuanya, bersujud dihadapan ayah dan ibu memohon do' a restunya kami mencari kendaraan ke Bandung. Tetapi ketika sedang menunggu kendaraan tiba-tiba datang seorang anak atas perintah ayah agar aku dan suamiku beserta anak-anak kembali lagi. Setiba dihadapannya beliau memegang bahuku dan berbisik di telingaku: "Anakku dido'akan agar kau sabar dan tawakal dalam menghadap segala kekurangan, sabar menghadapi segala cobaan, bertawaqallah dan beramal soleh sebanyak-banyaknya". Amien, mudah-mudahan saja aku seperti yang ayah harapkan dengan do' a ayah menyertainya. Tak terasa pula air mata jatuh membasahi pipiku. Semoga Tuhan memberikan kekuatan pada kami sekeluarga menghadapi cobaan ini.
Dengan berduka, pilu dan harus aku sekeluarga kembali ke Bandung dengan menumpang kereta api. Sepanjang perjalananku teringat akan ayah tercinta. "Hatiku menjerit berdo'a pada Tuhan memohon petunjuknya agar hatiku yang resah dan gelisah ini menjadi tenang " .... Yaa Tuhan.
.. bukan aku tidak menerima akan cobaan ini, aku hanya serahkan sepenuhnya pada-Mu, Tuhan Yang Maha Pengasih, segala-galanya adalah kepunyaan-Mu.
Terasa lama aku terombang-ambing dalam kereta dengan perasaan yang kusut hingga tak terasa kereta sudah sampai di stasion. Kami sekeluarga menunggu di peron kereta api untuk menunggu sebuah delman yang akan membawa kami sampai ke rumah di Jalan Jaksa. Setelah tawar menawar kami naik ke atas delman yang terus melalui sampai kerumahku.
Sampai beberapa hari aku tak dapat tidur memikirkan ayah, yang dengan wajah penuh senyum di atas kedua pipinya yang tampak mulai keriput, dan kurus memandang kami, aku saudara-saudaraku. Sampai pada suatu hari ketika aku sedang bercakap-cakap dengan seorang tamu telepon berdering. Suamiku yang sedang tidur terbangun dan segera mengangkatnya. Telepon tersebut adalah interlokal dari Tasikmalaya. Dengan hati berdebar aku menanti kabar yang akan disampaikan. Suamiku menyimpan kembali pesawat telepon dengan wajah pucat dan berduka ..... "INNALILLAAHI WAINNAILAIHI ROOJIUUN ..... "Aku menjerit dan kemudian roboh tak sadarkan diri.
Semalaman aku tak sadarkan diri dan ketika siuman kudapatkan diriku terbaring ditempat tidur. Kepalaku terasa pening, sekujur badanku menjadi kaku sulit untuk digerakan, ruangan dimana aku berbaring terasa berputar-putar, sehingga tak bisa mengetahui orang-orang yang tampak sibuk di rumahku untuk mempersiapkan keberangkatan kami ke Tasikmalaya besok pagi.
Pada pagi harinya kami berangkat ke Tasikmalaya dengan tergesa-gesa, kulihat adikku H. Juhriah dan suaminya A. Besman juga nampak berada dalam mobil kami dengan keadaan yang payah sekali karena pingsan yang berulang-ulang. Adikku adalah anak bungsu yang paling dekat dengan ayah dan juga amat lemah sehingga orang-orang harus membantu memapahnya. Ketika dirumahnya Bapak H. Sobari aku turun dari mobil bagaikan melayang tak menginjak tanah yang berada di bawahku. Dengan memaksakan diri aku berjalan dibantu oleh beberapa orang jamu yang datang. Orang-orang sudah banyak berkumpul disana. Saudara-saudaraku nampak bertangisan di atas jenazah ayahku.
Dengan seluruh keyakinan dan kekuatan yang masih ada padaku, aku mendekati jenazah yang terbaring dengan tenang. Ketika melihat wajah yang pasrah dan penuh senyum dalam wafatnya, tak terasa air mata yang sejak di dalam perjalanan tersembat pecah bagai tanggul pecah berderai membasahi pipiku. Jerit dan isak tangis yang ada disekelilingku seolah-olah takkurasakan.
Secara tak terduga tangis yang terasa menyesak dalam dadaku mereda. Dan perasaan yang gundah, bingung dan sakit berubah menjadi rasa pasrah yang sangat dalam. Dengan mengusap air mata yang tersisa dipipiku aku kembali bersujud di jenazah untuk terakhir kalinya .... "Terima kasih Tuhan. Engkau telah memberikan kekuatan yang sangat kuperlukan kemudian aku berdo' a untuk keselamatan ayahku di akhirat, diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.
Setelah semua siuman dari pingsannya dan telah mempunyai kekuatan. Jenazah diangkat ke dalam kendaraan yang sudah disediakan untuk dibawa dan dimakamkan di Patapan Suryalaya. Di Patapan sudah beribu-ribu orang yang menunggu kedatangan jenazah. Orang-orang itu berdesak-desakan bahkan ada yang menangis menjerit-jerit berusaha untuk mendekati jenazah. Setelah di-turunkan jenazah dibawa ke masjid untuk disembahyangkan. Hanya para kerabat dekatlah yang diizinkan untuk menghadiri pemakaman sampai akhir.
Itulah terakhir kalinya aku dapat melihat jasad orang yang paling aku cintai karena beliau tidak akan pernah ada lagi di dunia kecuali namanya yang akan dikenang orang sampai sekarang. Beliau sebagai seorang ulama besar membawa nama harum sebagai orang yang berbudi pekerti baik, pemimpin yang bijaksana dan berwibawa juga sebagai orang yang dihormati dan disegani. Warisan yang paling berharga yang beliau tinggalkan untuk anak cucu dan semua ikhwan yaitu yang disebut "TANBIH".
Setelah ayah wafat kepemimpinan di pondok Pesantren Suryalaya dipegang oleh kakakku K.H. A. SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN yang lebih dikenal dengan panggilan ABAH ANOM. Dalam kepemimpinan mereka yang juga menjadi Guru Besar Thoreqat Qoodiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya berkembang dan murid-muridnya bertambah banyak. Bahkan sampai ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Sabah dan negara-negara lainnya berkunjung untuk belajar disana. Semua ini merupakan kenyataan dari apa yang pernah diucapkan ayah padaku.
Setiap satu kali dalam sebulan yaitu tanggal 11 Hijriyah dilaksanakan suatu pengajian yang disebut MANAQIBAN. Semua murid berdatangan pada setiap Manaqiban. Berbondong-bondong mereka datang dari mana-mana berbaur dengan para pedagang yang sambil mendengarkan pengajian menjajakan dagangannya disepanjang jalan.
Semua yang diucapkan ayah pada masa hidupnya menjadi kenyataan. Di Pondok Pesantren Suryalaya jalan diperbesar dan diaspal. Lampu-lampu listrik gemerlapan di mana-mana. Bukit-bukit dan tebing-tebingnya diratakan dan menjadi bangunan sekolah yang megah. Mula-mula..didirikan SMIP pada tahun 1961, kemudian berturut-turut PGA, PTDI, Tsanawiyah, Aliyah dan SMA, STK, bahkan sekarang mulai dibangun Universitas IAI-LM, STIE LM & SMK Plus, dibentuk pula Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya di bawah kepemimpinan adikku Noor Anom.
Abah Anom didampingi istrinya Ibu Euis yang juga dibantu oleh keponakanku berusaha membangun dan memperjuangkan Patapan atau Pondok Pesantren Suryalaya sehingga menjadi Pondok Pesantren yang besar dan terkenal. Demikian juga keponakanku R. Hasanudin yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Desa berusaha mengembangkan desanya menjadi maju tidak lagi primitif dan terpencil.
Untuk memperingati semua perjuangan dan cinta akan Patapan yang telah begitu gigih diperjuangkan kejayaannya setiap lima tahun sekali diperingati pada hari kelahirannya yang jatuh pada tanggal 5 September.
Dalam saat-saat seperti ini banyak orang ikut memeriahkan perayaan ini dengan berbagai macam hiburan. Demikianlah akhir cerita yang dapat saya susun mengenai Ayahanda dan Pondok Pesantren yang didirikannya. Mohon maaf lahir bathin bila ada kekurangan dalam kisah ini.
Komentar
Posting Komentar