Langsung ke konten utama

Cerita Ayah

Cetak Roll Banner, XBanner, Spanduk, Backdrop, Photo Paper, Kanvas, Bendera

Ibu Hj. Dedah Residah Mubarok
Di sore hari k.ira-kira pukul 16. 00 setelah shalat Ashar, aku dan adikku dipanggil oleh ayah "Kemari nak, minum, bersama ayah". Karena lelah setelah bermain ajakan ayah ini sungguh menyenangkan hatiku dan juga adikku. Ayah duduk di antara aku dan adikku, kadang-kadang berbaring bahkan sambil dipijit dengan terus bercerita kepada kami berdua mengenai masa lalunya Dengan senang dan gembira kami mendengarkan cerita itu. Ayah adalah seorang keturunan Eyang Dalem Pamulihan yang bertempat tinggal di Cicalung. Kakek bemama "Marna Upas" atau Nurapradja dan Nenek bemama Ma Emah. Setelah berada dalam kandungan selama 12 bulan ayah lahir pada hari Sabtu di bulan Safar (tahun Hijriyyah) di daerah Cicalung. Ada suatu tradisi di daerah itu bahwa apabila seorang anak di lahirkan pada bulan Safar hari Sabtu harus diberikan pada orang lain dan harus ditimbang. Hal tersebut sudah merupa­kan suatu kebiasaan di daerah itu. Sebagai seorang warga masyarakat yang baik tentu saja kakek harus melaksanakan kebiasaan itu. Maka kemudian ayah diasuh oleh seorang sesepuh yang mem­punyai nama panggilan "Eyang Jangkung" "Ema Jangkung" sedang putra-putra kakek yang lain tetap tinggal bersamanya.
Sejak usia 12 tahun ayah di didik untuk belajar mengaji dan shalat. Hal istimewa terdapat pada diri ayah ialah terbangun di malam hari kira-kira pukul 02.00. Hal ini diceritakannya pada Eyang Jangkung; "Mama mengapa saya sering terbangun di malam hari dan tak dapat tidur lagi". Dan Eyang menjawabnya: "Anakku, itu adalah suatu petunjuk dari Tuhan yang mengingatkan kamu untuk sembahyang Tahajud." Sejak itu kemudian Eyang Jangkung memberikan pelajaran dan petunjuk untuk melaksanakan sembahyang Tahajud.
Dipagi haripun setelah mengaji ayah mem­punyai tugas untuk menggembala kerbau di kebun yang banyak rumputnya dengan di bekali Bakatul (suatu makanan khas Sunda yang dibuat dari kulit singkong). Yang kemudian di bawa ke Sungai un­tuk dimandikan pada siang hari setelah udara panas. Kerbau-kerbau tersebut kemudian dikem­balikan pada kandangnya di sore hari. Demikianlah tugas ayah setiap harinya.
Pada suatu hari ayah memberitahukan pada Eyang tentang keinginannya mencari pengalaman di pesantren dan bermaksud berguru pada seorang kyai untuk belajar membaca Al-Qur'an, sebab waktu itu jarang sekali ada seorang Kiyai mengajar mengaji.
Dengan lapang hati Eyang dan Ema Jangkung mengizinkannya. Karena pada waktu itu belum ada kendaraan seperti sekarang, ayah berangkat ke Tasikmalaya dengan berjalan kaki. Di sepanjang jalan ayah bertanya-tanya dimanakah adanya seorang Kiyai yang dimaksudkannya. Kemudian setelah mendapat informasi adanya seorang Kiyai di daerah Garut, perjalanan dilanjutkan ke daerah Garut.
Setibanya di tempat yang dituju dan bertemu dengan Kiyai yang dicarinya, ayah di sambut baik oleh beliau. Kiyai itu bemama Rd. K.H.M. Rafi dari Calingcing. Karena bermaksud mencari seorang Kiyai yang memiliki sebuah Pondok Pesantren ma­ka pada hari ke tiga ayah pamit.
"Begitu susahnya anakku untuk mendapatkan guru ngaji pada masa i tu, tidak seperti sekarang. Oleh karena itu kalian harus rajin belajar mengaji dengan sungguh-sungguh dan tekun", demikian ayah mengakhiri ceritanya.
Cerita ayah itu sampai sekarang sering aku renungkan dirasakan dan disadarinya dalam ke­nyataan yang menjadi bukti atas segala ucapannya.
Ayahanda Almarhum sebagai Guru Thoreqat Qoodiriyyah Naqsyabandiyyah" di Patapan Sur­yalaya. Pada waktu itu belum banyak orang yang mengerti ajaran Thoreqat, oleh karena itu selama berpuluh-puluh tahun banyak mendapat fitnahan-fitnahan. Setiap malam banyak yang mengintip segala kegiatan yang dilakukan ayah. Waktu itu belum banyak yang tinggal menetap di Suryalaya kecuali keluarga dan kakek Upas Nurapradja. Ayah sering dipanggil kekabupaten Tasikmalaya untuk diminta keterangan mengenai ajaran Thoreqat bah­kan pernah masuk tahanan (dipenjara). Dengan keyakinan yang teguh terhadap Ajarannya Alham­dulillah pada akhimya Tuhan memberikan jalan ke­selamatan.
Semenjak ibu meninggal aku tinggal bersama kakakku H. Suhanah sampai berusia 12 tahun kare­na tak lama beliau pun menyusul ibunda. Putranya yang bemama Rd. Hasanudin diasuh oleh ayah dan disekolahkan dan dipesantrenkan bersama ka­kakku H. Shohib di Patapan.
Baca Selanjutnya Cerita Ayah Berkelana Mencari Guru
Postingan Terbaru

Komentar

Copyright © History Waliyullah. All rights reserved.