Langsung ke konten utama

Asmara Dua Dunia Si Salim

Cetak Roll Banner, XBanner, Spanduk, Backdrop, Photo Paper, Kanvas, Bendera
"Hidayah" Asmara Dua Dunia Si Salim. Tak disangka-sangka, Nyonya Siska (38 tahun), langsung setuju ketika Karim menceritakan seputar Salim. Ia begitu percaya dengan omongan supirnya, Karim yang saleh dan setia. "Coba, Rim, kamu suruh kemari kawanmu itu. Biar ibu yang langsung wawancara,” tutur Nyonya Siska kepada Karim agar ia menghubungi Salim, mengabarkan berita gembira itu.
Asmara Dua Dunia Si Salim

Keesokan harinya, Salim sudah meluncur ke kantor Karim. Ia langsung bertemu dengan Karim dan dibawa ke ruangan Nyonya Siska biasa bekerja. Pada momen pertama inilah, dewi cinta menebar auranya. Saat pertama kali memasuki ruangan dan saling berjabat tangan, baik Salim dan Nyonya Siska sedikit salah tingkah. Nyonya Siska nampak begitu terpesona melihat Salim yang tinggi dan tampan, namun nampak polos dan tulus. Salim sendiri sempat terpukau ketika melihat Nyonya Siska yang biasa disebut-sebut Karim itu nampak terlihat cantik, anggun dan berwibawa. Dan dawai asmara pun bergetar saat pandangan pertama. Namun, Nyonya Siska langsung menguasai keadaan. Ia mempersilahkan Salim duduk dan langsung bertanya ini-itu kepada Salim.

"Asmara Dua Dunia" Rupanya, meski belum berpengalaman, Salim menunjukkan kecerdasan dan visi seorang manusia yang penuh harkat dan martabat seputar pekerjaan dan dunia arsitektur perumahan. Hal itu, tentu saja, kian memikat Nyonya Siska, Ia pun langsung menerimanya dan meminta bagian HRD [Human Resources Departement] perusahaanya membuatkan surat kontrak kerja untuknya. Dan Salim pun mulai meraih impiannya. Hari berganti, bulan bersalin rupa. Tak terasa, sejak kerja di perusahaan properti Nyonya Siska, kehidupan Salim mulai berubah. Ia lama-kelamaan menjadi orang kepercayaan Nyonya Siska. Ia pun sering diajak ke lapangan, meninjau proyek properti yang tengah dibangunnya. Hubungan Nyonya Siska dan Salim pun tiba-tiba semakin intim dan akrab. Mereka sering pergi berdua; baik dalam pertemuan bisnis dengan klien, maupun urusan pribadi seperti ke pesta pernikahan, makan malam dan lain-lainnya.

Penampilan Salim sendiri yang agak kampungan berubah total. Semua berkat tangan piawai Nyonya Siska. Pakaian Salim berubah, Gaya rambutnya berganti. Begitu pula, dengan gaya hidupnya. Berubah drastis. Nyonya Siska rupanya mendandani Salim menjadi pria modern yang membuat parawanita tergila-gila. Perubahan itu otomatis mengubah pergaulan Salim. Ia menjadi pria high class yang bisa diajak nongkrong di cafe-cafe, diskotik dan night club.

Namun sayang seribu sayang, lambat laun, Salim mulai lupa daratan. Ia mulai melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Ibadah shalatnya mulai bolong-bolong. Puasa sunnah yang sering diker-jakanya mulai berangsur-angsur hilang dari kamus kehidupannya. Mulutnya pun tidak lagi basah dengan zikir dan Qur’an, tapi dengan bau minuman beralkohol; bir, wine, dan lain-lainnya. Karim sendiri kerap mengingatkan Salim untuk tidak terlena dan mengingat Allah, namun sering tak dihiraukannya. Kelakuan Salim pun kian menjadi tatkala ia dan Nyonya Siska menikah secara sirri. Ya, sebuah pernikahan yang tidak diketahui ibunya; yang tak pernah absen menanti dan mendoakanya. Nyonya Siska sendiri setelah resmi menikah dengan Salim hampir seratus persen menyerahkan roda perusahaan kepadanya. Tentu saja, hal ini menambah kesibukan Salim sangat luarbiasa. Bagaimana dengan ibunya yang sudah sepuh itu? Ia sudah lama tak berkirim kabar. Ia nyaris melupakannya.

Kampung Halaman Salim: Kematian Bunda
Waktu terus berputar. Ramadhan kembali tiba. Bagi Halimah, ini adalah Ramadhan kedua kalinya ia berpisah dengan sang putra tercinta. Ia merindukan Salim di setiap degup jantungnya. Ia ingin merasakan berbuka dan makan sahur bersamanya, Rumahnya yang lengang dan sepi itu pun kian muram menyambut Ramadhan, terlebih ia tengah dilanda sakit-sakitan; penyakit orangtua yang kesepian dalam menjalani sisa-sisa umurnya. Meski sesekali, paman Salim, Badrun kerap menengoknya, rasa sepinya tak kunjung padam. Pikiran tentang anaknya terus memburu benaknya, Ia ingin sekali putra semata wayangnya itu pulang kampung walau sesaat; walau hanya sehari saja, menikmati Ramadhan bersamanya.
Sayang, anak yang dirindukan itu belum juga mau pulang. Pernah, Badrun menghubungi Karim, supirnya, agar memberi tahu Salim bahwa ibunya tengah sakit dan merindukannya, namun ia malah bilang masih banyak pekerjaan. Dan, bila ada kesempatan ingin menengok ibunya, istrinya malah merajuk. Ia membujuk Salim agar menundanya nanti saja, pas lebaran tiba.
Ramadhan hampir berakhir. Takbir menggema dimana-mana. Salim, tiba-tiba, merasa sedih. Ia ingat ibunya, ia ingin sekali pulang kampung saat itu juga. Ia rindu sekali ibunya. Ternyata, perasaan Salim tak salah. Saat ia menyaksikan televisi dan sang istri belum pulang dari mal, sebuah kabar menghujam dadanya. Karim yang sudah lebih dulu mudik mengabari bahwa ibu Salim telah tiada, ibunya sudah meninggal sehari yang lalu. Menurut Karim, pamannya, Badrun, sudah berkali-kali menghubungi Salim tapi susah sekali. Akhirnya, ibunya terpaksa dimakamkan tanpa kehadiran anak semata wayangnya. Mendengar kabar pahit itu, Salim tak bisa bergerak. Ia jatuh lunglai di lantai. Isak tangisnya memecah. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada sang ibu. Akhirnya, ia memutuskan mudik ke kampung halaman pada malam itu juga. Ia menyetir sendiri mobilnya. Kepada sang istri, ia hanya mengirim sms ihwal kematian ibunya. Meski sang istri menelpon berkali-kali, ia pun tak mau mengangkatnya. Ia sudah terlanjur kesal dengan istri yang telah menunda-nundanya pulang kampung.

Lebaran yang Pilu
Pukul 06.30, Salim sudah sampai dikampung halamannya. Di rumah, ia disambut Badrun, sang paman dengan wajah sangar dan benci. “Anak durhaka! Mencari siapa kamu di kampung? Ibumu!? Dia sudah meninggal, sudah dikubur. Pergi saja ke sana! Minta maaf pada batu nisannya!” Salim yang merasa bersalah tak bisa berkutik. Ia meminta maaf pada Badrun. Dengan mobil sedannya, ia langsung meluncur ke kompleks pemakaman saat warga lain tengah berbondong-bondong menuju masjid untuk shalat Id. Setibanya di pusara ibunya, Salim langsung duduk bersimpuh. Air matanya mengalir tak henti-hentinya. Ia merasa kotor dan berdosa kepada sang ibu. Ia menghiba maaf dan penyesalan di pusara ibunya, Nah saat itulah, tiba-tiba, sebuah peristiwa menyentak hatinya, Saat hendak menggerakkan kaki kirinya, ia tak bisa. Sebelah kakinya itu seperti tak bertulang. Ia pun tersadar dan teringat janjinya dulu bahwa bila ia melupakan ibunya, satu kakinya akan lumpuh. Dan kini, ia benar-benar lumpuh. Tangisnya tambah meraung-raung. Ia kian menyesal dan berdosa.
Sejurus kemudian, Nyonya Siska, istrinya, bersama Karim menyusulnya, Sang istri sendiri merasa berdosa dan bersalah dengan ibu mertuanya itu. Ia lalu ikut bersimpuh dan menangis. Namun, betapa kagetnya ia ketika mengetahui kondisi satu kaki suaminya yang lumpuh. Ia langsung teriak-teriak memanggil Karim yang menunggu dari kejauhan. Karim sendiri tak kalah terperanjat ketika mengetahui kondisi memprihatinkan sang bos sekaligus teman karibnya itu. Lalu ia bersama Nyonya Siska akhirnya buru-buru memapah Salim menuju mobil. Wallahu'alam bilshawab. [Kisah ini kiriman dari narasumber Hidayah di Malaysia Semua tokoh dan tempat dalam kisah ini sengaja kami samarkan].

Demikian akhir dari kisah Lumpuh di Pusara Ibu, Semoga dapat mengambil hikmah dari cerita ini, jangan sembarang janji. 

Postingan Terbaru

Komentar

  1. Semoga aja salim bisa bertobat dan juga istrinya yang telah menjadi penghalangnya untuk menemui Ibunya.

    BalasHapus
  2. Semoga Aja Salim Bertobat atas segala dosanya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Copyright © History Waliyullah. All rights reserved.